Sabtu, 23 November 2013

IPTEK: Integrasi sains dan agama



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Sudah sejak dua Abad silam perkembangan dunia sains berikut turunannya tekhnologi cenderung berwatak ateistik-materialistik, hasilnya pun kerap kali mengancam eksistensi agama. Dengan berlandaskan pada metafisika yang bertentangan dengan agama, teori-teori ilmiah sains cenderung menyudutkan agama, seperti teori penciptaan alam semesta, asal-usul manusia, hubungan alam dengan Tuhan dan sebagainya. Selanjutnya isu tentang perdebatan atau perjumpaan antara sains dan agama adalah turunan dari permasalahan ini, dan menjadi genre tersendiri di dunia keilmuan. Di tangan para teolog/agamawan dari Barat, perdebatan antara sains dan agama menghasilkan gagasan “sains teistik”, yaitu: sains yang sensitive terhadap keyakinan dan ajaran agama. Sementara dalam konteks Kristen kontemporer, Ian Barbour mendasarkan pendekatan “integrasi” (integrasi teologis) dalam upayanya mempertemukan sains dan agama dengan empat tipologinya yaitu; konflik, independensi, dialog dan integrasi. Juga John F. Haught yang menggunakan pendekatan konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi.
Sementara dalam Islam hubungan antara sains dan agama telah menjadi topik menarik selama lima puluh tahun terakhir ini. Gagasan mengenai “sains Islami” atau “Islamisasi sains” merupakan reaksi atas sains modern yang ateistik-materialistik tersebut. “Sains Islami” ini pada mulanya dipopulerkan oleh para pemikir muslim seperti Sayyed Hossein Nasr, Ziauddun Sardar, Ismail al-Faruqi, al-Attas dan akhir-akhir ini Mehdi Golshani. Di mana pemikiran mereka kerap kali dilabeli dengan “islamisasi ilmu”. Meskipun gagasan mereka berebeda, semuanya bergerak pada lapangan dan tingkat yang sama yaitu tingkat epistemologi dan sedikit menyentuh aspek metafisika.
Sejarah telah mencatat bahwa, ilmu pengetahuan tidak begitu saja muncul dan diterima oleh masyarakat. Cukup banyak generalisasi yang tidak memadai mengenai sifat dasar ilmu pengetahuan. Memahami ilmu pengetahuan bukan saja perlu mengamati apa yang diperbuat oleh seorang ilmuan, akan tetapi juga mengetahui apa yang mendorongnya menekuni ilmu pengetahuan sebagai karir atau hobi. Sifat ilmu pengetahuan adalah upaya mencari pengetahuan. Ini berarti bahwa minat ilmuan senantiasa diarahkan oleh rasa cinta akan pengetahuan-dorongan untuk memuaskan rasa ingin tahu seseorang mengenai hal dan proses tertentu dan luapan rasa gembira telah menemukan dan memahami sesuatu yang diperoleh seseorang apabila dorongan itu terpenuhi. Memang benar bahwa cinta akan pengetahuan tidak merupakan satu-satunya motivasi kegiatan ilmiah.
Ilmu pengetahuan dicirikan sebagai usaha untuk mengumpulkan hasil pengetahuan secara teratur dan sistematis, berkat adanya refleksi. Pengungkapan hasil itu terjadi dalam macam-macam model, yang dapat digolongkan menjadi dua dasar, yaitu model aprosteriori dan model apriori. Model apriori dirintis oleh Plato, sedangkan Aristoteles mengutarakan suatu model ilmu dimana sebagai hasil dari pemeriksaan aposteriori diperoleh suatu “pengetahuan melalui sebab musabab”, yang faham apriorinya menjadi ciri khas ilmu.
Ilmu berkembang dengan sangat pesat dan demikian juga jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaahan yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan dilaksanakan mengakibatkan objek forma dari disiplin keilmuan menjadi semakin terbatas.
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menajadi rumpun ilmu-ilmu laman (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial (the socaial sciences). Dalam makalah ini, penulis akan mencoba memaparkan beberapa penjelasan mengenai Integrasi agama dan sains dalam lingkup sekolah.

B.   Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah disampaikan, maka penulis merumuskan beberapa masalah yang akan di jawab dalam makalah ini, yaitu :
1.    Bagaimana integrasi agama dan sains dalam lingkup sekolah ?
2.    Bagaimana integrasi agama dan sains di barat ?
3.    Bagaimana model pembelajaran jelajah alam sekitar sebagai integrasi agama dan sains ?
4.    Apakah permasalahan integrasi nilai dalam tahap metodologi sains ?
5.    Apa manfaat integrasi agama dan sains terhadap teknologi masa kini ?

C.  Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji :
1.    Untuk mengetahui integrasi agama dan sains dalam lingkup sekolah
2.    Untuk mengetahui integrasi agama dan sains di barat
3.    Untuk mengetahui model pembelajaran jelajah alam sekitar sebagai integrasi agama dan sains
4.    Untuk mengetahui permasalahan integrasi nilai dalam tahap metodologi sains
5.    Untuk mengetahui manfaat integrasi agama dan sains terhadap teknologi masa kini









BAB II
PEMBAHASAN

A.  Kurikulum
1.      Kelompok Ilmu-ilmu Eksak (Sains) dan Ilmu Humaniora
a.      Ilmu-ilmu Sains
Sains adalah Ilmu pengetahuan di pakai sebagai kata kolektif untuk menunjukan bermacam-macam pengetahuan dan sistematik dan objektif serta dapat di teliti kebenarannya. Sebagai ilustrasi dikisahkan, bertanyalah seorang kawan kepada ahli filsafat yang arif dan bijaksana, “Bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?
“Mudah saja”, jawab filosof itu, “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu” Dari ilustrasi ini dapat digambarkan bahwa pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses dari usaha manusia. Beranjak dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran.
Adapun beberapa pengetahuan yang dimiliki manusia, yaitu: (1) Pengetahuan biasa atau common sense; (2) Pengetahuan ilmu atau science; (3) Pengetahuan filsafat; (4) Pengetahuan religi. Sedang ilmu pengetahuan sendiri mempunyai pengertian sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistematika mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan experimental.
b.      Ilmu Humaniora
1)      Sajarah Ilmu Humaniora
Penelusuran atas pengertian humaniora dalam sejarah peradaban umat manusia menjadi salah satu titik tolak yang sangat penting. Woodhouse (2002:1) dalam artikelnya yang berjudul The Nature of Humanities: Historical Perspektive menegaskan bahwa istilah humaniora yang berasal dari program pendidikan yang dikembangkan Cicero, yang disebutnya humanitas sebagai faktor penting pendidikan untuk menjadi orator yang ideal. Penggunaan istilah humanitas oleh Cicero mengarah pada pertanyaan tentang makna dalam cara lain bahwasanya pengertian umum humanitas berarti kualitas, perasaan, dan peningkatan martabat kemanusiaan dan lebih berfungsi normatif daripada deskriptif (Sastrapratedja, 1998:1).
Gellius mengidentikkan humanitas dengan konsep Yunani paideia, yaitu pendidikan (humaniora) yang ditujukan untuk mempersiapkan orang untuk menjadi manusia dan warga Negara yang bebas. Pada zaman Romawi gagasan tersebut dikembangkan menjadi program pendidikan dasariah. Beralih pada zaman Pertengahan pendidikan humaniora berusaha menyatukan konsep paideia dengan kekristenan. Ketika memasuki zaman Renaissance, para humanis Italia menghidupkan kembali istilah humanitas, sebagaimana dipakai oleh Cicero, dan menjadi studi humanitas, yang mencakup gramatika, retorika, puisi, sejarah, dan filasfat. Ketika itu dibedakan antara apa yang dianggap Kekristenan dan apa yang dianggap secara otentik merupakan esensi kemanusiaan. Oleh karena itu kemudian berkembang perbedaan antara studi divinitas dan studi humanitatis (Sastrapratedja, 1988:2).
Pada zaman modern, pengertian humanitas kemudian berkembang ke dalam dua makna khusus, yaitu: (1) Mengacu pada perasaan kemanusiaan dan tingkah laku yang mengarah pada hal-hal seperti: kelemahlembutan, penuh pertimbangan, kebajikan; (2) Tujuan pendidikan liberal sebagaimana yang diformulasikan John Henry Newman dalam gagasan tentang sebuah universitas.
Humanitas juga mengacu pada perkembangan intelektual dan pelatihan intelektual atau proses dan tujuan utama pendidikan liberal. Selanjutnya dalam sistem pendidikan di Barat dikenal istilah artes liberales (liberal arts) dan di lingkungan Anglo-Saxon disebut “humanities”. Pendidikan humaniora dianggap mempunyai fungsi pengembangan “humanitas” dalam diri manusia (Woodhouse, 2002:2). Meskipun pada zaman Aufklarung humaniora banyak dikritik, tetapi program itu tetap menjadi dasar pendidikan pada abad ke-18 dan 19. Pada awal abad ke-19, ditekankan perbedaan antara ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu alam. Dilthey membagi ilmu menjadi dua kelompok yakni Natuurwissenschaft dan Geisteswissenschaft (Mustansyir, 2003: 124). Setelah itu humaniora tidak lagi dipandang sebagai dasar dari program pendidikan, tetapi lebih dilihat sebagai dimensi fundamental dari dunia pengetahuan manusia.
Dewasa ini pengertian humanities menurut Woodhouse (2002: 4) merupakan sekelompok disiplin pendidikan yang isi dan metodenya dibedakan dari ilmu-ilmu fisik dan biologi, dan juga paling tidak dibedakan dengan ilmu-ilmu sosial. Kelompok studi humanities meliputi bahasa, sastra, seni, filasfat, dan sejarah. Disini inti humanitas kadangkala ditentukan sebagai sekolah atau bagian dari sebuah universitas modern. Keadaan yang mirip berlaku pula di Indonesia. Dalam sebuah artikel Indonesia’s International Conference on Cultural Studies (2002:1) dikemukakan bahwa bidang humaniora sebagaimana halnya ilmu sosial telah berperan dan menjadi saksi nyata perkembangan fenomenal dari suatu paradigma baru dari ilmu-ilmu budaya. Paradigma baru ini mencoba memahami secara kritis bagaimana gerak budaya, dan dasar kekuatannya terletak pada karya di balik praktek-praktek budaya. Di Indonesia meskipun unsur-unsur studi budaya telah membuka atau meratakan jalan masuk ke dalam kurikulum beberapa program studi di bidang ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial, juga aktivitas berbagai kelompok peneliti independen, namun sebagian besar masih dipahami sebagai sisi luar dari body of knowledge. Kendatipun demikian dengan kehadiran globalisasi yang disertai dampak-dampak yang ditimbulkannya atas dunia, ada tuntutan kuat agar ilmu-ilmu budaya di Indonesia dikembangkan lebih serius. Dengan demikian ilmu budaya dapat memperdayakan ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial dalam lingkup yang lebih luas. Sastrapratedja (1998: 2-3) menegaskan bahwa humaniora pada abad XX mengalami perubahan yang mendalam dalam sistem pendidikan di Barat dikarenakan beberapa faktor seperti: proliferasi ilmu-ilmu pengetahuan alam pada abad XX; perkembangan ilmu pengetahuan menuntut adanya spesialisasi dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan; perkembangan ilmu-ilmu perilaku (behavioral sciences) dan ilmu-ilmu sosial yang berbeda dari humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan; universitas semakin menjadi institusi yang berorientasi profesionalitas. Mahasiswa belajar di Universitas untuk menjadi seorang profesional yang akan memperoleh pekerjaan. Universitas cenderung menjadi pragmatis dan lebih cenderung memenuhi kebutuhan pasar.
Hal yang sama dapat pula dirasakan kecenderungannya di Indonesia, terlebih lagi dengan dicanangkannya otonomisasi kampus terasa kuatnya orientasi pasar, sehingga sebuah fakultas akan dihargai kualitas akademiknya manakala alumninya berhasil memasuki dunia kerja dengan masa tunggu yang relatif singkat. Disini sudah tidak dipersoalkan lagi seberapa besar peran bidang humaniora di dalam membentuk kualitas akademik seorang lulusan, yang ditonjolkan justru ia lulusan dari fakultas x dan memiliki keahlian dalam bidang x.
2)      Karakteristik Humaniora
Humaniora merupakan studi yang memusatkan perhatiannya pada kehidupan manusia, menekankan unsur kreativitas, kebaharuan, orisinalitas, keunikan, Humaniora berusaha mencari makna dan nilai, sehingga bersifat normatif.  Dalam bidang humaniora rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai pemikiran tentang suatu objek atas dasar dalil-dalil akal, tetapi juga hal-hal yang bersifat imajinatif, sebagai contoh: Leonardo da Vinci mampu menggambar sebuah lukisan yang mirip dengan bentuk helikopter jauh sebelum ditemukannya helikopter. Humanities sebagai kelompok ilmu pengetahuan mencakup bahasa baik bahasa modern maupun klasik, linguistik, kesusastraan, sejarah, kritisisme, teori dan praktek seni, dan semua aspek ilmu-ilmu sosial yang memiliki isi humanitis dan menggunakan metode humanitis. J. Drost (2002:2) dalam artikelnya di KOMPAS, Humaniora, mengatakan bahwa bidang humaniora yang menjadikan manusia (humanus) lebih manusiawi (humanior) itu, pada mulanya adalah trivium yang terdiri atas gramatika, logika, dan retorika. Gramatika (tata bahasa) bermaksud membentuk manusia terdidik yang menguasai sarana komunikasi secara baik. Logika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik agar dapat menyampaikan sesuatu sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti dan masuk akal. Retorika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik agar mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar, dan mampu menyesuaikan diri dan uraian dengan perasaan dan kebutuhan itu.
Ignas Kleden (1987: 72) menyitir pendapat J. Habermas menunjukkan lima ciri ilmu humaniora yang diletakkan dalam kategori hitoris-hermeneutis sebagai berikut: (1) Jalan untuk mendekati kenyataan melalui pemahaman arti; (2) Ujian terhadap salah benarnya pemahaman tersebut dilakukan melalui interpretasi. Interpretasi yang benar akan meningkatkan intersubjektivitas, sedang interpretasi yang salah akan mendatangkan sanksi (misal: senyum basabasi yang diinterpretasikan jatuh cinta); (3) Pemahaman hermeneutis selalu merupakan pemahaman berdasarkan prapengertian.
3)      Relevansi Humaniora Dengan Perkembangan Iptek
Seorang pakar teknologi Indonesia, M. T. Zen (2000, 97) dalam sebuah artikelnya Teknologi Nano dan Revolusi Industri Abad Ke-21 mengatakan bahwa pada awal abad ke-21 ini dunia dikuasai 3 bidang teknologi, yaitu teknologi informasi, bio-teknologi, dan teknologi Nano. Teknologi informasi terkait dengan kemajuan di bidang pertelevisian, internet, handphone yang memudahkan penyampaian dan penerimaan informasi dalam akselerasi yang luar biasa. Bioteknologi terkait dengan pemanfaatan di bidang peternakan, pertanian, kedokteran dan teknologi kloning yang memanipulasi gen. Teknologi Nano ialah memanipulasi struktur molekul dengan memanipulasi atom-atom menjadi molekul-molekul. Teknologi nano menjadikan ilmuan mampu mengatur kedudukan atom-atom yang membentuk molekul-molekul. Dalam perkembangan yang mutakhir masih ada satu bidang yang sedang diupayakan oleh negara-negara maju (terutama Amerika), yakni teknologi Terraformasi, yakni penjajagan manusia untuk membuat struktur kehidupan baru di ruang angkasa (misalnya di Planet Mars).
Dimanakah relevansi bidang humaniora terhadap perkembangan teknologi-teknologi tersebut? Dalam teknologi informasi, peran bahasa sebagai sarana komunikasi merupakan hal yang tak dapat diragukan. Sebab sulit dibayangkan sebuah informasi yang disampaikan tanpa melalui bahasa. Dalam Bio-teknologi analisis kritis melalui logika dan etika sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan: seberapa pentingkah pengembangan bio-teknologi itu bagi nilai-nilai kemanusiaan? Cukup masuk akallah melakukan klonasi terhadap makhluk manusia melalui proses aseksual yang pada gilirannya akan melahirkan bentuk penyeragaman manusia? Apa gerangan dampak yang ditimbulkan oleh penyeragaman tersebut bagi eksistensi manusia? Dalam teknologi Nano, M.T. Zen sendiri tidak mampu menjawab pertanyaan yang muncul yakni kemana teknologi Nano akan membawa manusia. Apakah manusia akan sampai ke titik kehidupan buatan (artifical life)? Dalam teknologi Terraformasi, seandainya unsur-unsur kehidupan dapat dibentuk di planet Mars dalam jutaan tahun yang akan datang, sudah siapkah manusia untuk menghuni wilayah baru itu dengan meninggalkan planet bumi sebagai wilayah usang yang menyebalkan? Melalaikan dimensi kemanusiaan (humanior) dalam setiap derap langkah kemajuan Iptek hanya akan menimbulkan “rasa sesal kemudian tiada guna” Jurnal Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3 214. Dalam filsafat Yunani, Logos, ethos, dan pathos merupakan sarana dasariah manusia dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus dilakukan secara simultan.

2.      Wacana Relasi Agama dan Sains Barat
Wacana integrasi antara agama dan sains sudah cukup lama. Walaupun tak selalu menggunakan kata “integrasi” secara eksplisit. Katakan saja, di kalangan Muslim modern gagasan perlunya pemaduan agama dan sains, atau wahyu dan akal, telah cukup lama beredar. Cukup popular juga di kalangan Muslim pandangan bahwa pada masa kejayaan sains dalam peradaban Islam, agama dan ilmu telah integrated. Bagi kalangan Kristen kontemporer, pendekatan “integrasi” dipopulerkan oleh Ian G. Barbour, yang menyebut salah satu dari empat tipologi hubungan sains-agama dengan “integrasi”. Teolog-cum-fisikawan Kristen ini dianggap sebagai salah seorang peletak dasar wacana agama dan sains yang berkembang di Barat, tetapi pengaruhnya telah menyebar berkat penerjemahan buku-bukunya, termasuk di Indonesia.
Berbicara tentang relasi antara agama dan sains khususnya dalam perspektif epistemologi keilmuan Islam kontemporer, tampaknya merupakan sebuah kerumitan tersendiri. Agama Islam yang di masa awalnya sangat concern dengan visi sains, belakangan justeru dikesankan menjadi sebuah agama yang ‘menjauh’ dari hiruk-pikuk dunia sains. Kalau kita perhatikan, berbagai prestasi temuan di bidang iptek tingkat dunia, khususnya sejak abad renaissance, hampir semuanya didominasi oleh para ilmuwan Barat.
Temuan sains di dunia Muslim hampir-hampir dikatakan tidak ada. Penemu sains abad 20 ini yang muncul dari kalangan dunia Muslim paling-paling baru Abdus Salam di bidang dunia fisika, atau Habibie yang menemukan teori keretakan pesawat, sehingga Habibie digelar sebagai Mr. Crack. Sedangkan ribuan jenis temuan lainnya masih didominasi oleh ilmuwan Barat. Menjadi sebuah pertanyaan besar di sini, mengapa fenomena kemandekan temuan sains bisa terjadi di dunia Muslim. Tentunya beragam jawaban bisa dikemukakan, sekedar ilustrasi kecil, diantaranya akibat politik isolatif umat Islam terhadap dinamika pengetahuan modern. Dalam kaitan ini menarik kita kutip pernyataan Nurcholish Madjid (1992: lvi).
3.      Bibit Dikotomi Antara Agama dan Sains di Sekolah Sebagai Implikasi Sains Barat
Persolaan dikotomi ilmu tersebut memang tak lepas dari kungkungan metodologi dan  epistimologi keilmuan Barat. Mengangungkan ilmu pengetahuan (akal) dan menyingkirkan peran Agama didalamnya, memang  bagian yang tak bisa terpisahkan dari metodologi mereka. Sejak periode modern, post-modern hingga saat ini identitas tersebut masih sangat melekat pada tradisi mereka. Para pemikir post moderisme memiliki argument-argumen yang lebih radikal (Wattimena. 2008 : 235).
Terdapat sebab munculnya dikotomi ilmu, Sebab munculnya dikotomi (dualisme) ilmu yang dapat di analisis diantaranya: Pertama, dikotomi ilmu merupakan warisan dari zaman kolonial belanda, Karena anak-anak yang bisa masuk sekolah belanda sebelum kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum bangsawan dan saudagar, maka anak-anak orang Islam memilih Madrasah atau Pondok Pesantren yang memang sudah ada sebelum munculnya sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial belanda (Muliawan, 2005:206). Kedua, ketika hancurnya sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan Islam karena mengamuknya tentara mongol yang meludeskan kota Bagdad serta dihancurkannya kekuatan umat Islam di  Spanyol dan terbunuhnya banyak ilmuan. Ketiga, Krisis konseptual, atau terjadinya pembagian ilmu-ilmu di dalam Islam, yaitu ilmu-ilmu keduniaan (general sciences), yang kemudian dihadapakan dengan ilmu-ilmu agama (al-‘umum al-diniyyah/ religious sciences). Keempat, dikotomi dalam pendidikan islam timbul akibat dari faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya (Mulkhan, 1998:87).
Dampak dari dikotomi ilmu  sebenarnya sangatlah besar, dan persoalan ini yang menjadi salah  satu yang  faktor kemunduran pada umat Islam. Realitas tersebut sederhana dapat dilihat, misalnya dalam dunia pendidikan, banyak  sarjana agama yang mengabaikan dan tidak paham ilmu umum sehingga tidak mampu  menjawab problematika keilmuan dan tekhnologi modern, sehingga menghambat penyebaran nilai-nilai Islam dalam ranah yang lebih luas.  sebaliknya banyak sarjana umum yang tidak paham agama, sehingga berefek pada dekadensi moral, dan tentu ini merusak nilai kemurnian ilmu itu sendiri (Muhammad, 2012 :  http://muhammad-nhur.blogspot.com/feeds/posts/default), disinilah terlihat ketidak seimbangan, ketika sarjana agama hanya mampu menguasi ranah Syariat dan sarjana umum yang hanya ahli di bidang umum.
Realitas dikotomi ilmu tersebut juga terjadi pada instansi sekolah yaitu terjadinya pemisahan sekolah umum dan agama. Dalam muatan kurikulum misalkan, Sekolah umum dominan ilmu yang diajarkan hanya ilmu umum (science) dan tidak digabungkan dan diarahkan pada nilai-nilai agama. Sehingga metode tersebut akan tergiring pada pola pikir yang sekuler dan berdampak pada degradasi moral, akhirnya memicu pada rusaknya generasi Islam, disebabkan pondasi ilmu agama yang lemah. Pada akhirnya, agama dianggap tidak penting dalam persoalan ilmu dan dunia.  Dari sinilah yang kemudian banyak umat Islam tergiring pada pemahaman sekuler. Karena dari sejak sekolah sampai perguruan tinggi, konsep ini terus dipraktekkan secara sadar atau tidak dapat mempengaruhi gaya hidup dan pola pikir ummat. Samsul Nizar menambhakan disatu pihak ada pendidiakan yang memperdalam ilmu pengetahuan modern yang kering dari nilai-nilai keagamaan, dan sisi lain ada pendidikan yang hanya memperdalam masalah agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu pengetahuan. Secara teoritis makna dikotomi adalah pemisahan secara teliti dan jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu sama sekali tidak dapat dimasukan kedalam yang satunya lagi dan sebaliknya (Samsul Nizar, 2010 op,cit:230).
Selain itu, akibat (peng) dikotomian ilmu sangatlah terkait dengan masalah pendikotomian pendidikan (kelembagaan) (Lembaga pendidikan di Indonesia ada yang berada di bawah naungan Depag dan Diknas. Jasa ungguh Muliawan. 2005 Op, cit.hal. 20). Pandangan beberapa pejabat yang menangani bidang pendidikan yang kurang menghargai sekolah-sekolah Islam mendorong sebagian pemimpin dan pengelola sekolah tersebut berpegang pada sikap semula yaitu berdiri di kutub yang berbeda. Akibat lain dari dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, adalah Munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam di mana selama ini, lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh filal-din yang menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka. Sementara itu, modernisasi sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan agama ke dalam lembaga umum mengakibatkan terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran agama hanya untuk mencapai tujuan sistem pendidikan.

B.   Integrasi Agama dan Sains
1.      Relasi Agama Dan Sains
Sains dan agama merupakan dua entitas yang berbeda, namun keduanya sama-sama memiliki peranan sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan lahirnya agama, menjadikan umat manusia memiliki iman yang menjadikan hidupnya lebih terarah, berkat agama pula telah menjadikan manusia lebih beretika, bermoral dan beradab. Sementara sains yang memberikan banyak pengetahuan kepada manusia, dengan semakin berkembangnya sains akan memajukan dunia dengan berbagai penemuan yang gemilang serta memberikan kemudahan fasilitas yang sangat menunjang keberlangsungan hidup manusia.
Sains dan agama berbeda, karena mereka memiliki paradigma yang berbeda pula, pengklasifikasian secara jelas antara sains dan agama menjadi suatu trend tersendiri di masyarakat zaman renaissance dan trend ini menjadi dasar yang kuat hingga pada perkembangan selanjutnya. Akibatnya, agama dan sains berjalan sendiri-sendiri dan tidak beriringan, maka tak heran kalau kemudian terjadi pertempuran di antara keduanya. Sains menuduh agama ketinggalan zaman, dan agama balik menyerang dengan mengatakan bahwa sains sebagai musuh Tuhan.
·         Perbedaan karakteristik agama dan sains menurut (Sudjana, 2008:4-5) :
No
Karakteristik
Sains
Agama
1
Sumber
Akal, rasio, Ro’yu
Wahyu (Alqur’an dan Hadist)
2
Obyek
fisik, sebab-akibat, kausalitas
makna (meaning), nilai (values), moral: baik-buruk, pahala-dosa, surga-neraka
3
Pertanyaan
how (bagaimana)
why (mengapa)
4
Sifat
tertutup, menginformasikan, menjelaskan
terbuka, mengungkapkan, mereformasi
5
Karakter
metrical, terukur dg ‘angka’
non-metrical
6
Isi
logika, teoretik, kaidah, predicable  futuristic
iman, wahyu
7
Operasi
 pengalaman, empiric, instrumentatif
sami’na wa atho’na, taken for granted
8
Keterlibatan
 tidak, ‘penonton’
 terlibat, pelaku

a.      Tipologi hubungan Sains dan Agama
Agama dan Sains tidak selamanya berada dalam pertentangan dan ketidaksesuaian. Banyak kalangan yang berusaha mencari hubungan antara keduanya. Sekelompok orang berpendapat agama tidak mengarahkan pada jalan yang dikehendakinya dan agama juga tidak memaksakan sains untuk tunduk pada kehendaknya. Kelompok lain berpandapat bahwa sains dan agama tidak akan pernah dapat ditemukan, keduanya adalah entitas yang berbeda dan berdiri sendiri, memiliki wilayah yang terpisah baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, serta peran yang dimainkan. 
1)   Tipologi Ian G. Barbour
a)   Konflik
Pandangan konflik ini mengemuka pada abad ke–19, dengan tokoh-tokohnya seperti: Richard Dawkins, Francis Crick, Steven Pinker, serta Stephen Hawking. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara keduanya. Menolak agama dan menerima sains, ata sebaliknya. Masing-masing menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi masing-masing. Agama dan sains adalah dua ekstrem yang saling bertentangan, saling menegasikan kebenaran lawannya.
Barbour menanggapi hal ini dengan argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan memilih antara sains dan agama. Kepercayaan agama menawarkan kerangka makna yang lebih luas dalam kehidupan. Sedangkan sains tidak dapat mengungkap rentang yang luas dari pengalaman manusia atau mengartikulasikan kemungkinan-kemungkinan bagi tranformasi hidup manusia sebagaimana yang dipersaksikan oleh agama. (Barbour, 2006 : 224).
Dalam konflik pertentangan dipetakan dalam 2 bagian yang berseberangan :
·         Materialisme ilimiah
Asumsi : menganggap bahwa materi sebagai realita dasar alam (pentingnya realitas empiris), sekaligus meyakini bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya cara yang sahih untuk mendapatkan pengetahuan.
·      Literalisme kitab suci
Satu-satunya sumber kebenaran adalah kitab suci, karena dianggap sebagai sekumpulan wahyu yang bersifat kekal dan benar karena bersumber dari Tuhan, sehingga tak memungkinkan bersumber dari yang lain termasuk alam semesta.
b)   Independensi
Memisahkan agama dan sains dlam wilayah yang berbeda, memiliki bahasa yang berbeda, berbicara mengenai hal-hal yang berbeda, berdiri sendiri membangun independensi dan otonomi tanpa saling mempengaruhi. Agama mencakup nilai-nilai, sedangkan sains berhubungan dengan fakta. Dibedakan berdasarkan masalah yang ditelaah, domian yang dirujuk dan metode yang digunakan.
Menurut Barbour (2006 : 66), Tuhan adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur teologi, demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya berbeda. Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi berdasarkan wahyu Ilahi. Barbour mencermati bahwa pandangan ini sama-sama mempertahankan karakter unik dari sains dan agama. Namun demikian, manusia tidak boleh merasa puas dengan pandangan bahwa sains dan agama sebagai dua domain yang tidak koheren.
Agama dan sains adalah dua domain yang terpisah yakni agama atau Tuhan hanya dapat dikenal sebagaimana yang diwahyukan, tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Sedangkan sains dapat dikenali melalui fenomena dan empiris. Sains dibangun berdasarkan pengamatan dan penalaran manusia, sedangkan teologi berdasarkan wahyu.
Sains dan agama ditafsirkan sebagai dua bahasa yang tidak saling berkaitan karena fungsi masing-masing berbeda. Bahasa agam adalah seperangkat pedoman yang menawarkan jalan hidup yang berprinsip pada moral tertentu, sedangkan sains dianggap sebagai serangkaian konsep untuk memprediksi dan mengontrol alam.
c)    Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah dengan membandingkan metode sains dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan dan perbedaan. Namun, dialog tidaak menawarkan kesatuan konseptual sebagaimana diajukan pandangan integrasi. Mengutamakan tingkat kesejajaran antara sains dan agama.
Dialog menekankan kemiripan dalam pra anggapan, metode dan konsep.
·      Pra anggapan dan pertanyaan batas, Memunculkan pertanyaan batas, mengajukan pertanyaan fundamental, ilmuwan dan agamawan dapat bekerja sama untuk menjelaskan.
·      Kesamaan metodologis dan konseptual, Sains tak selamanya obyektif, agama tidak selamanya subyektif.
Barbour (2006 : 32) memberikan contoh masalah yang didialogkan ini dengan digunakannya model-model konseptual dan analogi-analogi ketika menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati secara langsung. Dialog juga bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu pengetahuan yang mencapai tapal batas. Seperti: mengapa alam semesta ini ada dalam keteraturan yang dapat dimengerti? dan sebagainya. Ilmuwan dan teolog dapat menjadi mitra dialog dalam menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap menghormati integritas masing-masing.
Dalam menghubungkan agama dan sains, pandangan ini dapat diwakili oleh pendapat Albert Einstein, yang mengatakan bahwa “Religion without science is blind : science without religion is lame“. Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh. Demikian pula pendapat David Tracy, seorang teolog Katolik yang menyatakan adanya dimensi religius dalam sains bahwa intelijibilitas dunia memerlukan landasan rasional tertinggi yang bersumber dalam teks-teks keagamaan klasik dan struktur pengalaman manusiawi (Barbour, 2006:76).
d)    Integrasi
Pandangan ini melahirkan hubungan yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu diantara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang sama. Demikian Barbour menjelaskan tentang hubungan integrasi ini ( Ian G. Barbour, 2006 : 42 )
2)   Tipologi versi John Haught
Menurut Haught, hubungan agama dan sains diawali dengan titik konflik antara agama dan sains untuk mengurangi konflik, dilakaukan pemisahan yang jelas batas-batas agama dan sains agar tampak kontras / perbedaaan keduanya. Jika batas keduanya sudah terlihat, langkah berikutnya adalah mengupayakan agar keduanya berdialog / kontak. Setelah tahap ini dapat ditemukan kesamaan tujuan yaitu mencapai pemahaman yang benar tentang alam, selanjutnya antara agama dan sains saling melengkapi / konfirmasi (Haught, 1995).

2.      Tujuan Epestemik Relasi Agama dan Sains
Dalam pandangan saintis secara umum, agama dan ilmu pengetahuan mempunyai perbedaan. Bidang kajian agama adalah metafisik, sedangkan bidang kajian sains / ilmu pengetahuan adalah alam empiris. Sumber agama dari Tuhan, sedangkan ilmu pengetahuan dari alam. Dari segi tujuan, agama berfungsi sebagai pembimbing umat manusia agar hidup tenang dan bahagia didunia dan di akhirat. Adapun sains / ilmu pengetahuan berfungsi sebagai sarana mempermudah aktifitas manusia di dunia. Kebahagiaan di dunia, menurut agama adalah persyaratan untuk mencapai kebahagaian di akhirat (Amsal, 2004).
Keduanya bisa saja menjadi suatu hal yang saling mendukung antara ilmu Tuhan yang bersifat absolut dan ilmu manusia yang pada dasarnya terus - menerus mengalami perkembangan dan bisa jadi bersifat relatif. Suatu hal yang menjadi permasalahan adalah, tidak selamanya pandangan agama bisa diklaim bahwa ia langsung dari Tuhan (sesuai dengan maksudnya) ketika itu bersifat penafsiran, karena pada dasarnya penafsiran terhadap teks - teks agama (kitab suci) adalah hasil penerjemahan manusia terhadap teks tersebut mengenai “maksud” Tuhan melalui firman - firmannya. Manusia bisa saja salah menafsirkannya, atau bisa juga tidak secara komprehensif menjelaskan “maksud Tuhan” tersebut. Begitupun juga dengan sains. Tidak selamanya juga sains yang kita pelajari saat ini dari para ahli bisa diklaim sebagai kebenaran yang mutlak. Sains pada umumnya juga mengalami perkembangan dan bisa saja di kemudian hari dibantah oleh teori - teori lain dan bisa jadi juga kurang lengkap dan teori tersebut dikembangkan oleh ilmuwan - ilmuwan lain di kemudian harinya.,
Menurut (Amstal, 2004) bahwa agama cenderung mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan, eksklusif dan subjektif. Sementara ilmu pengetahuan selalu mencari yang baru, tidak terikat dengan etika, progesif, bersifat inklusif, dan objektif. Meskipun keduanya memiliki perbedaan, juga memiliki kesamaan, yaitu bertujuan memberi ketenangan. Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati, Sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia. Misalnya, Tsunami dalam Konteks agama adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangan-Nya tentang alam secara keseluruhan. Oleh karena itu, manusia harus bersabar atas cobaan tersebut dan mencari hikmah yang terkandung dibalik Tsunami. Adapun menurut ilmu pengetahuan, Tsunami terjadi akibat pergeseran lempengan bumi, oleh karena itu para ilmuwan harus mencari ilmu pengetahuan untuk mendeteksi kapan tsunami akan terjadi dan bahkan kalau perlu mencari cara mengatasinya.
Karekteristik agama dan ilmu pengetahuan tidak selau harus dilihat dalam Konteks yang berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu kehidupan manusia yang lebih layak. Osman Bakar mengatakan bahwa epistemology, metafisika, teologi dan psikologi memiliki peran penting dalam mengembangkan intelektual untuk merumuskan berbagai hubungan konseptual agama dan ilmu pengetahuan. Peran utamanya adalah memberikan rumusan-rumusan konseptual kepada para ilmuan secara rasional yang bisa dibenarkan dengan ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan untuk digunakan sebagai premis-premis dari berbagai jenis sains. Misalnya kosmologi, dengan adanya kosmologi dapat membantu meringankan dan mengkonseptualkan dasar-dasar ilmu pengetahuan seperti fisika dan biologi.
Ilmu pengetahuan yang dipahami dalam arti pendek sebagai pengetahuan objektif, tersusun, dan teratur. Ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari agama. Sebut saja al-Quran, al-Quran merupakan sumber intelektualitas dan spiritualitas. Ia merupakan sumber rujukan bagi agama dan segala pengembangan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber utama inspirasi pandangan orang islam tentang keterpaduan ilmu pengetahuan dan agama. Manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui banyak cara dan jalan, tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan. Dalam pandangan al-Quran, pengetahuan tentang benda-benda menjadi mungkin karena Tuhan memberikan fasilitas yang dibutuhkan untuk mengetahui. Para ahli filsafat dan ilmuan muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia mendapatkan pencerahan dari Tuhan Yang Maha mengetahui sesuatu yang belum diketahui dan akan diketahui dengan lantaran model dan metode bagaimana memperolehnya (Amstal, 2004).
Al-Quran bukanlah kitab ilmu pengetahuan, tetapi ia memberikan pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang selalu dihubungkan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Panggilan al-Quran untuk “membaca dengan Nama Tuhanmu” telah dipahami dengan pengertian bahwa pencarian pengetahuan, termasuk didalamnya pengetahuan ilmiah yang didasarkan pada pengetahuan tentang realitas Tuhan. Hal ini dipertegas oleh Ibnu Sina yang menyatakan, Ilmu pengetahuan disebut ilmu pengetahuan yang sejati jika menghubungkan pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan Prinsip Tuhan.
Agama dan ilmu pengetahuan memang berbeda metode yang digunakan, karena masing-masing berbeda fungsinya. Dalam ilmu pengetahuan kita berusaha menemukan makna pengalaman secara lahiriyah, sedangkan dalam agama lebih menekankan pengalaman yang bersifat ruhaniah sehingga menumbuhkan kesadaran dan pengertian keagamaan yang mendalam. Dalam beberapa hal, ini mungkin dapat dideskripsikan oleh ilmu pengetahuan kita, tetapi tidak dapat diukur dan dinyatakan dengan rumus-rumus ilmu pasti. Sekalipun demikian, ada satu hal yang sudah jelas, bahwa kehidupan jasmani dan rohani tetap dikuasai oleh satu tata aturan hukum yang universal. Ini berarti, baik agama maupun ilmu pengetahuan, yaitu Allah. Keduanya saling melengkapi dan membantu manusia dalam bidangnya masing-masing dengan caranya sendiri.
Fungsi agama dan ilmu pengetahuan dapat dikiaskan seperti hubungan mata dan mikroskop. Mikroskop telah membantu indera mata kita yang terbatas, sehingga dapat melihat bakteri-bakteri yang terlalu kecil untuk dilihat oleh mata telanjang. Demikian pula benda langit yang sangat kecil dilihat dengan mata telanjang, Ini bisa dibantu dengan teleskop karena terlalu jauh. Demikian halnya dengan wahyu Ilahi, telah membantu akal untuk memecahkan masalah-masalah rumit yang diamati oleh indera. Jika ini hanya dilakukan oleh akal maka akan menyesatkan manusia (Osman, 2008).

3.      Cara Integrasi Agama Dan Sains : Suatu Pendekatan Interdisiplin
Kaitannya dengan integrasi agama dan sains, yang dibutuhkan pendidikan Islam saat ini adalah sistem pendidikan dengan sebutan Interdisplin Sains dalam Islam (Inter-discipline Sciences in Islam). Paradigma integratif ini sudah waktunya dikembangkan dalam abad modern ini sebagai proptotipe kebangkitan peradaban baru yang akan menggeser peradaban saat ini yang menurut hemat penulis sudah diambang kebangkrutan dilihat dari berbagai indikator fisik dan non-fisik. Dengan sistem pendidikan yang baru dimana kurikulum yang diajarkan merupakan penyatuan utuh antara nilai wahyu dan sains. Maka diharapkan para alumni lembaga pendidikan Islam mampu menjabarkan kaedah-kaedah sains dan agama dalam bentuk cara berfikir dan tingkah laku (akhlaq) secara terpadu (integrated) dan menyeluruh (holistik) di masyarakat sehingga dimasa depan terciptalah tatanan masyarakat yang lebih baik.
Dengan demikian, pendidikan Islam di masa mendatang harus memberi prioritas pada materi pembelajaran yang akan membantu untuk menghasilkan ilmuan-ilmuan, teknolog-teknolog, dan insinyur-insinyur, serta kelompok profesional lain, yang peran dan kontribusinya sangat penting bagi kemajuan ekonomi. Tetapi hal juga berarti sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekadar berkepentingan untuk menghasilkan sejenis ilmuan, teknolog, atau insinyur, yang berbicara agama secara kualitatif, tidak berbeda dari mereka yang dihasilkan oleh kebanyakan pendidikan umum. Tetapi, ia harus berkepentingan untuk mendidik ilmuan-ilmuan, insinyur-insinyur, serta teknolog-teknolog “jenis baru” yang terinternalisasi di dalam dirinya kebijakan dan pengetahuan, iman spiritual dan pikiran rasional, kreativitas dan wawasan moral, kekuatan inovatif dan kebaikan etis, serta sensivitas ekologis berkembang sepenuhnya secara harmonis tanpa meruntuhkan kemungkinan bagi mereka untuk mencapai keunggulan dan kegemilangan dalam bidang dan spesialisasi masing-masing (Ahmad, 2010. http://blog.uin-malang.ac.id/ahmadbarizi/2010/06/26/panduan-riset-integrasi-sains-dan-islam/).
Dari kerangka dasar semacam itu, pendidikan Islam kemudian didudukkan dalam sistem klasifikasi keilmuan teoantroposentris-integralistik, yaitu sistem klasifikasi yang memadukan secara integral antara transmitted knowledges dan acquired knowledges melalui penggunaan pendekatan dan metodologi keilmuan interdisipliner (integrasi dan interkoneksi). Dengan demikian, pendidikan Islam tidak lagi menjadi disiplin ilmu yang eksklusif dan terkucilkan (isolated entities), tetapi justru menjadi disiplin ilmu yang responsif terhadap berbagai permasalahan yang aktual (current issues).

C.  Model pembelajaran jelajah alam sekitar sebagai integrasi agama dan sains
Peserta didik akan lebih banyak memperoleh nilai-nilai pendidikan bila mereka menemukan sendiri konsep-konsep tentang alam sekitarnya melalui kegiatan proses keilmuan. Hal ini menimbulkan konsekuensi bagi pola pembelajarannya.
1.    Latar Belakang Pendekatan JAS
Dipilihnya pendekatan JAS sebagai pendekatan pembelajaran yang dianggap mampu menciptakan siswa yang produktif dan inovatif adalah dengan alasan-alasan berikut:
  1. Sejauh ini pelaksanaan pendidikan/pembelajaran Biologi masih didominasi oleh suatu kondisi kelas yang masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, ceramah masih menjadi pilihan utama guru dalam mengajar, proses sain belum biasa dikembangkan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran masih menekankan pada hasil belajar dan bukan kegiatan untuk menguasai proses. Untuk itu perlu dipilih suatu pendekatan yang lebih memberdayakan siswa. Suatu pendekatan pembelajaran yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi dapat mendorong siswa mengkonstruksikan fakta-fakta pengetahuan yang dia peroleh berdasarkan konsep atau prinsip Biologi melalui proses eksplorasi dan investigasi.
b.      Pendekatan pembelajaran JAS mengutamakan siswa belajar dari mengalami dan menemukan sendiri dengan memanfaatkan lingkungan fisik, sosial dan budaya yang ada disekitarnya.
c.       Tuntutan kurikulum bahwa hasil belajar peserta didik berupa perpaduan antara aspek kognitif, afektif dan psikomotor menuntut suatu pembelajaran yang menekankan keaktifan peserta didik secara fisik, mental, intelektual dan emosional.

2.    Komponen-komponen Pendekatan JAS
Pendekatan JAS terdiri atas beberapa komponen yang seyogyanya dilaksanakan secara terpadu. Adapun komponen-komponen JAS adalah sebagai berikut:
a.        Eksplorasi
Dengan melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya, seseorang akan berinteraksi dengan fakta yang ada di lingkungan sehingga menemukan pengalaman dan sesuatu yang menimbulkan pertanyaan atau masalah. Dengan adanya masalah manusia akan melakukan kegiatan berpikir untuk mencari pemecahan masalah. Dalam memecahkan masalah tidak berdasar pada perasaan tetapi lebih ke penalaran ilmiah (Suriasumantri, 2000). Lingkungan yang dimaksud disini tidak hanya lingkungan fisik saja, akan tetapi juga meliputi lingkungan sosial, budaya dan teknologi.
b.        Konstruktivisme
Pengetahuan dahulu dianggap sebagai kumpulan fakta. Akan tetapi sekarang, pendapat ini mulai bergeser, terutama di bidang sains, pengetahuan lebih dianggap sebagai suatu proses pembentukan (konstruksi) yang terus menerus, terus berubah dan berkembang (Suparno, 1997). Sarana yang tersedia bagi seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah alat inderanya.
Seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui alat inderanya, melihat, mendengar, menyentuh, mencium dan merasakannya. Menurut Lorsbach & Tobin (1992) dalam Suparno (1997), selama proses berinteraksi dengan lingkungan, seseorang akan memperoleh pengetahuan. Jadi pengetahuan ada dalam diri sesorang yang sedang mengetahui. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru). Paserta didik sendiri yang harus mengartikan pelajaran yang disampaikan guru dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka sebelumnya. Dalam pembentukan pengetahuan, menurut Piaget (1970) terdapat dua aspek berpikir yaitu aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek operatif lebih penting karena menyangkut operasi intelektual atau sistem transformasi. Berpikir operatif inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari suatu level tertentu ke level yang lebih tinggi.
c.         Proses Sains
Proses sains atau proses kegiatan ilmiah dimulai ketika seseorang mengamati sesuatu. Sesuatu diamati karena menarik perhatian, mungkin memunculkan pertanyaan atau permasalahan. Permasalahan ini perlu dipecahkan melalui suatu proses yang disebut metode ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Menurut Huxley (1964), metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerjanya pikiran.
Sedangkan berpikir adalah suatu kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh dengan metode ilmiah bersifat rasional dan teruji sehingga merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif dalam membangun pengetahuan

D.  Permasalahan Integrasi Nilai (Religius) Dalam Tahap Metodologi Sains
Masalah pembelajaran Sains dalam mencapai tujuannya bergantung kepada pandangan Guru terhadap hakekat Sains itu sendiri. Pandangan tentang hakekat Sains ini berkembang dari waktu ke waktu. Pandangan umum mengatakan bahwa Biologi merupakan salah satu cabang Sains (Natural Science). Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah ilmu yang mempelajari fenomena atau gejala alam, dan Biologi merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan dan hidupnya suatu organisme secara lahiriah. Hal ini berbeda dengan pandangan Sund (1979) bahwa sains mencakup tiga hal, yaitu: Scientific Knowledge, Scientific Methods, and Scientific Attitudes (Mulyana, 2004 : 119).
Hal ini menunjukkan bahwa Sains merupakan suatu produk dan proses.  Sains sebagai pengetahuan ilmiah dihasilkan melalui metode ilmiah dan sikap ilmiah. Untuk pembelajarannya mesti menanamkan pengetahuan ilmiah, metode ilmiah, dan sikap ilmiah. Sikap ilmiah yang ditanamkan seperti objektif, jujur, menghargai pendapat orang lain, bekerja sama, teliti, dan hati-hati. Karena itu, pembelajaran Sains harus mencakup aspek-aspek kognitif,  psikomotor, dan affektif. Interaksi ketiga aspek tersebut akan menghasilkan kreativitas. Pengembangan sikap dan perilaku kreatif pada peserta didik ini sangat penting dalam suatu proses pembelajaran, karena hasil utama dalam proses pendidikan adalah perubahan sikap dan tingkah laku peserta didik. Menurut Krech dan Ballancy (1984) bahwa perubahan sikap seseorang dipengaruhi oleh informasi yang diperoleh, keinginannya (wants), affiliasi kelompok, dan kepribadiannya, serta Agama yang dianutnya. Dalam hal  ini artinya, orang menghargai Sains bergantung kepada penafsiran terhadap informasi tentang Sains itu, apakah informasi itu bersumber dari para pakar pendidikan Sains, juga informasi dari ajaran Agama yang dianutnya, maupun informasi dari komitmen kelompok affiliasinya (Mastuhu, 2003).
Selanjutnya Albert Einstein menyatakan bahwa Sains mengandung nilai-nilai intrinsik, yaitu: nilai praktis, intelelktual, sosio-politik-ekonomi, pendidikan, dan nilai religi. Nilai-nilai intrinsik Sains adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh Sains itu sendiri, dan bukan dampak dari Sains terhadap kehidupan manusia. Berdasarkan pandangan ini, pembelajaran Sains pun tidak hanya memahami apa, mengapa, dan bagaimana Sains itu, tetapi juga harus dapat menanamkan nilai-nilai tersebut untuk pembelajaran manusia. Hal ini disebutkan dalam QS. Al-Ankabut:43, yaitu:
Dan Kami jadikan amtsal-amtsal (perumpamaan) di dunia untuk pelajaran bagi manusia, tetapi kebanyakan tidak memahaminya, kecuali dengan ilmu”.
Hal ini ditegaskan oleh Nasr dalam bukunya ”Science and Civilization in Islam” menyatakan bahwa:
“Sebagian besar sejarawan alam Muslim berusaha mempelajari sejarah alam (Hukum Alam) bukan hanya untuk memuaskan rasa keingintahuan mereka, tetapi dalam rangka mengamati tanda-tanda Allah, Vestial Dei, sehingga mereka senantiasa dapat mengambil pelajaran-pelajaran spiritual dan moral dari kajian mereka tentang kerajaan alam…”.
Demikian pula, salah satu pendapat JD.Bernal (1982) bahwa:”Sains sebagai suatu faktor utama yang mempengaruhi kepercayaan dan sikap manusia terhadap alam semesta dan manusia, dan bukan hanya sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang sistematis dan logis, metode ilmiah, dan factor utama mengembangkan produksi.”
Pada dasarnya integrasi Pendidikan Agama Islam (nilai religius) dengan sains dan teknologi adalah upaya untuk memadukan antara Pendidikan Agama Islam dengan sains  dan teknologi dalam rangka peningkatan kualitas pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan hasil yang dicapai oleh peserta didik. Dengan cara ini diharapkan pendidikan agama Islam tidak sekedar sebagai wahana transfer pengetahuan keagamaan semata, tetapi juga penanaman nilai-nilai keislamaan yang nantinya mampu diterapkan oleh peserta didik dalam kehidupan bermasyarakat sebagai seorang  muslim yang mampu berperan dalam menyelesaikan problem umat maupun bangsa menghadapi perkembangan sains dan teknologi yang begitu pesat dengan segala dampak yang ditimbulkan.
Menurut (Mumtasyiri, 2012) Dalam pelaksanaannya integrasi Pendidikan Agama Islam dengan sains dan teknologi menemui beberapa  permasalahan  antara lain;
a)     Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Umat Islam
Berbicara tentang sumber daya manusia, umat Islam seharusnya dapat memberikan konstribusi yang besar linier sebanding dengan jumlahnya. Akan tetapi, dengan kuantitas yang besar, ternyata belum sebanding dengan kualitasnya. Masih banyak di antara umat Islam yang “Gaptek alias Gagap Teknologi”. Demikian halnya di kalangan dunia pendidikan kita, terutama di tingkat sekolah menengah ke bawah masih banyak guru yang hanya kaya dalam hal  pengetahuan agama, tetapi miskin  dalam pengetahuan umum. Selain itu masih banyak juga  siswa dan guru yang belum menguasai teknologi terutama dalam penggunaan komputer dan internet.
b)      Keterbatasan sarana dan prasarana serta sumber bacaan materi keagamaan terutama yang berkaitan dengan sains
Mengakibatkan pengelolaan cenderung seadanya. Pendidikan agama yang diklaim sebagai aspek yang penting, seringkali kurang diberi prioritas dalam urusan fasilitas. Tidak semua sekolah atau madrasah mempunyai dana yang cukup untuk pengadaan sarana dan prasarana yang memadai. Banyak materi pendidikan agama yang membutuhkan pengkajian dan pembuktian secara ilmiah, namun karena tidak tersedianya tenaga ahli dan peralatan yang memadai sampai sejauh ini materi-materi itu hanya disampaikan secara dogmatis.
Sebagai contoh tentang diharamkannya daging anjing dan babi, perbedaan status najis untuk air kencing bayi laki-laki yang dihukumi najis mukhaffafah, sedangkan air kencing bayi  perempuan dihukumi najis mutawasitah, juga terhadap air liur anjing yang dikatagorikan najis mughalladzah yang cara pensuciannya harus dibasuh sampai tujuh kali dan salah satunya harus diserta pasir atau debu,  tentunya ada rahasia atau hikmah  yang dapat diungkap di balik semua itu. Selain itu buku sumber rujukan yang digunakan oleh guru dan siswa masih membahas hal-hal yang berkaitan dengan materi agama semata belum banyak yang menghubungkan kebenaran ajaran agama dengan kebenaran sains.
c)      Sistem dan metode pendidikan yang diterapkan dalam proses kependidikan Islam masih belum seluruhnya mengintegrasikan sains dan teknologi.
Bila dianalisis lebih jeli, selama ini khususnya sistem pendidikan Islam seakan-akan masih terkotak-kotak antara urusan duniawi dengan urusan ukhrowi. Ada pemisahan antara keduanya sehingga dari paradigma yang salah itu, menyebabkan umat Islam belum mau ikut andil dan berpartisipasi banyak dalam agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan agama. Sebagai permisalan, tentang sains sering kali umat Islam fobia dan merasa sains bukan urusan agama. Jadi ada pemisahan antara urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains yang dianggap hanya berorientasi dunia saja.
Pada sistem pendidikan kita yang telah berjalan  terdapat dikotomi antara sains dan  ilmu agama yang telah melahirkan dua jenis manusia yang ekstrim ; sistem pendidikan agama yang melahirkan manusia yang hanya berfikir kepada fikih, halal haram dan kurang memperdulikan kemajuan pembangunan material, sementara sistem lainnya hanya melahirkan manusia yang pandai membuat kemajuan dan pembangunan material tetapi makin jauh dari Allah. Nilai urgensi pengembangan studi sains dan agama khususnya Islam di banyak Perguruan Tinggi sampai sekarang masih terasa parsial dan terpotong-potong. Agama dan Islam sebagai paradigma keilmuan masih ditempatkan sebagai “pelengkap” bahasan-bahasan sains yang artifisial. Keberadaannya hanya tak lebih dari sekedar penjustifikasi konsep-konsep sains dan  belum menjadi sebuah paradigma keilmuan yang holistic yang di dalamnya  mensyaratkan elaborasi-elaborasi saintifik sesuai konsep ilmu yang ada (Ahmad, 2010. http://blog.uin-malang.ac.id/ahmadbarizi/2010/06/26/panduan-riset-integrasi-sains-dan-islam/).
d)      Sejauh ini Pendidikan Agama Islam yang diberikan kepada peserta didik dianggap belum mampu mengantisipasi dampak-dampak negatif dari perkembangan sains dan teknologi
Seperti terjadinya krisis moral dan krisis social yang kini makin menggejala dalam kehidupan masyarakat. Kemajuan dalam bidang sains dan teknologi telah menimbulkan perubahan yang sangat cepat dalam kehidupan manusia. Hampir tidak ada segi-segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada kenyataannya telah menimbulkan pergeseran nilai-nilai dalam kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral dan kemanusiaan. Seharusnya Pendidikan Agama Islam  mampu berperan  sebagai perisai dan filter bagi peserta didik dalam menangkal  dampak-dampak negatif perkembangan sains dan teknologi pada masa sekarang ini. Namun kenyataannya pendidikan Agama masih jauh dari yang diharapkan.
Menurut Rasdianah seperti  dikutip oleh Muhaimin ada beberapa kelemahan dari Pendidikan Agama Islam di sekolah, baik dalam pemahaman materi pendidikan agama Islam maupun dalam pelaksanaannya, yaitu
a.         Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah pada fatalistik
b.         Bidang akhlak yang berorientasi pada urusan sopan santun dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama
c.         Bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan pribadi
d.         Dalam bidang hukum ( fiqih) cenderung dipelajari sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami dinamika dan jiwa hokum Islam
e.         Agama Islam cenderung diajarkan sebagai norma dan kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu pengetahuan
f.          Orientasi mempelajari al-Qur’an masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti dan penggalian makna (Muhaimin, 2011).
e)      Belum seluruhnya Guru Agama Islam memiliki kompetensi menjadi guru  agama sebagai hasil (produk) lembaga pendidikan profesional keguruan.
Guru sebagai komponen utama dalam pendidikan dituntut untuk mampu mengimbangi bahkan melampaui perkembangan sains dan teknologi, menghasilkan peserta didik yang berkualitas, baik secara akademis, skill (keahlian), kematangan emosional, moral serta spiritual. Oleh karena itu, diperlukan seorang guru yang mempunyai kualifikasi, kompetensi personal-religius dan kompetensi professional religious serta dedikasi yang tinggi dalam menjalankan tugas profesionalnya . Keberadaan guru, apalagi guru Pendidikan Agama Islam tidak bisa digantikan oleh sumber-sumber belajar yang lain.
Hal ini karena guru Pendidikan Agama Islam tidak semata-mata berperan dalam kegiatan transfer of knowledge saja, tetapi juga berperan dalam kegiatan transfer of value. Namun kenyataannya, masih banyak guru Pendidikan Agama Islam yang belum bisa menulis ayat-ayat Al-Qur’an dengan baik dan benar, belum bisa membaca  Al-Qur’an yang benar dan baik sesuai dengan ilmu tajwid, tidak mampu menjawab masalah fiqih sederhana yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, kurang menguasai sejarah Islam dan seterusnya, (Muhaimin,2011:194) apalagi penguasaan materi lintas ilmu sains.

E.   Manfaat Integrasi Agama Dan Sains Terhadap Teknologi Masa Kini
Pemikiran tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu, atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Disamping itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan diterjemahkan dengan pemahaman secara Islami. Ilmu pengetahuan yang sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah swt, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya malapetaka yang merugikan manusia.
Ilmu sains tergolong  dalam kumpulan sains terapan yang dikaitkan dengan teori dan dasar untuk menciptakan suatu hasil atau sesuatu yang dapat member manfaat kepada manusia. Jelasnya sains merupakan pemahaman ilmu tentang fenomena fisik yang sesuai dengan perspektif Islam yang digunakan di dalam teknologi dengan menggunakan kaidah yang paling efisien dan tepat di dalam mengkaji ilmu pengetahuan.
Hal ini sejalan dengan pendapatnya Said, (2005: 67) sains adalah produk manusia seperti halnya musik, film, lukisan, bangunan dan lain sebagainya. Begitu mendengar suara alunan musik, seseorang dapat langsung mengenali apakah ini tipe music keconcong, pop, dangdut, jaz atau yang lainnya. Demikian pula melihat film, lukisan, bangunan dan lain sebagainya, bisa kita identifikasi objek apa yang kita lihat.
Menurut Mahdi, (1989: 126) secara sederhana, sains dapat dikatakan sebagai produk manusia dalam menyimak realitas. Terkait dengan pengertian ini, maka sains juga tidak menjadi tunggal atau dengan kata lain akan ada lebih dari satu sains dan satu dengan yang lain dibedakan pada apa makna relitas dan cara apa yang dapat diterima untuk mengetahui realitas tersebut. Tujuan sains dalam perspektif agama adalah untuk mengetahui watak sejati segala sesuatu sebagaimana yang telah diberikan tuhan dan memperlihatkan kesatuan hukum alam, hubungan seluruh bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip ilahiah.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-qur’anul karim: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan kami dari segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bahwa Al-qur’an itu benar……..   (QS Fussilat 41:53).
Disegenap penjuru itu artinya disemua bidang ilmu pengetahuan termasuk ilmu alam dan ilmu eksakta dan masih banyak ayat-ayat al-qur’an yang mendorong manusia supaya berfikir dan mengkaji serta memahami alam raya ini seperti:
“……maka apakah kamu tidak menggunakan akal? “ (QS. Al-an’am 6 : 32)
“……maka apakah mereka tidak memikirkannya?”     (QS Yassin 36 : 68)
“……maka apakah kamu tidak memperhatikannya?” (QS Al-Dhariyat 51: 21)
“Maka mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau sekitranya Al-Qur’an bukan dating dari Allah SWT tentulah mereka menemukan pertentangan yang banyak didalamnya”. (QS An-Nisa’ 4: 82)
Ditambah pula dengan hadist yang terkenal dari rasulullah saw ;
 Belajar adalah suatu kewajiban atas setiap muslim, lelaki atau perempuan” (HR Ibnu Majah)
“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina” (HR Masyhut)
“Barang siapa yang memudahkan jalan untuk mencari ilmu niscaya Allah akan memudahkan jalannya ke Surga” (HR Muslim)
 “barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu ia berada di jalan Allah sehingga ia kembali” (HR At-Tirmidzi)
Berdasarkan Al-qur’an dan sunnah di atas memaparkan bahwa peradaban Islam harus dibangun mulai dari individu-individu yang sadar akan eksistensinya sebagai manusia yang memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang alam semesta, manusia dan kehidupan yang sumber rujukannya berdasarkan Al-qur’an dan sunnah kemudian didukung oleh para intelektual muslim yang telah paham dengan peradaban Islam modern dan tentunya Negara atau pemerintah harus berperan penting di dalamnya atau bahkan harus memberikan hadiah (beasiswa) kepada para ilmuan yang telah berhasil mendapatkan penemuan baru dibidangnya masing-masing seperti peran pemerintah Unite State, Jerman, Rusia, China, Jepang dan Negara-negara maju lainnya dalam mencetak para ilmuan yang menguasai bidangnya. Dan tentunya dalam membangun peradaban islam modern di Indonesia, kita memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan negara nonmuslim lainnya  karena kita sebagai umat muslim pernah memimpin dunia, bahkan konon kota Bagdad  dikenal dengan kota 1001 malam betapa indahnya Bagdad pada saat itu sehingga barat belajar di dunia muslim.
Allah SWT
 
Menurut Nata, dkk (2005: 53) menyatakan bahwa ilmu-ilmu itu hakekatnya berasal dari Allah, karena sumber-sumber ilmu tersebut berupa wahyu, alam jagat raya (termasuk hukum-hukum di dalamnya), manusia dengan perilakunya, akal pikiran dan intuisi batin seluruhnya ciptaan dan anugerah Allah yang diberikan kepada manusia. Dengan demikian, para ilmuan dalam berbagai bidang ilmu tersebut bukan pencitpa ilmu tapi penemu ilmu, penciptanya adalah Tuhan. Manusia hanya melakukan percobaan dari apa yang ada pada rasa ingin tahu manusia.







 
 


 





                           
                                                                                                            (Nata, 2005)
Skema ilmu berasal dari Allah SWT
Menurut skema di atas, menyatakan bahwa segala ilmu yang ada di dunia ini merupakan ciptaan dari Allah. Baik ilmu agama maupun ilmu umum yang berasal dari Al-quran dan Sunnah berasal dari Allah SWT. Di ciptakannya ilmu tersebut tidak lain hanya untuk kemaslahatan umat manusia agar manusia dapat hidup sejahtera dalam menjalankan segala aktivitasnya untuk beribadah.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kajian keilmuan pembagian adanya ilmu agama dengan sains adalah kesimpulan manusia yang mengidentifikasikan  ilmu berdasarkan objek kajian akan tetapi semua ilmu itu berasal dari Tuhan pencipta semesta Alam.  Begitu pula dengan sains dan teknologi tidak pernah bertentangan dengan ajaran islam. Itu sebabnya ilmuan muslim pada saat itu menggali inspirasinya berdasarkan Al-qur’an dan sunnah Rasul saw.
Perkembangan sains menyebabkan umat islam lebih memahami dan meyakini akan keagungan Allah swt karena semakin banyak kita menemukan pengetahuan baru maka semakin kita merasa bahwa ilmu yang kita miliki masih sedikit dibandingan dengan ilmu Allah sehingga bertambahlah keyakinan kita akan keagungan Allah tuhan semesta alam. Sementara jika teknologi yang mementingkan kehidupan materelistik dan keduniaan semata tanpa dilandasi dengan keimanan kepada Allah swt sebenarnya tidak akan memberikan manfaat kepada manusia, malahan akan menimbulkan mudharat dan kebinasaan bagi manusia itu sendiri.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.    Sains adalah Ilmu pengetahuan di pakai sebagai kata kolektif untuk menunjukan bermacam-macam pengetahuan dan sistematik dan objektif serta dapat di teliti kebenarannya, dapat digambarkan bahwa pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses dari usaha manusia, Beranjak dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah pengetahuan, maka di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran.
2.    Bagi kalangan Kristen kontemporer, pendekatan “integrasi” dipopulerkan oleh Ian G. Barbour, yang menyebut salah satu dari empat tipologi hubungan sains-agama dengan “integrasi”. Teolog-cum-fisikawan Kristen ini dianggap sebagai salah seorang peletak dasar wacana agama dan sains yang berkembang di Barat, tetapi pengaruhnya telah menyebar berkat penerjemahan buku-bukunya, termasuk di Indonesia. berbagai prestasi temuan di bidang iptek tingkat dunia, khususnya sejak abad renaissance, hampir semuanya didominasi oleh para ilmuwan Barat.
3.    Dipilihnya pendekatan JAS sebagai pendekatan pembelajaran yang dianggap mampu menciptakan siswa yang produktif dan inovatif adalah, Suatu pendekatan pembelajaran yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi dapat mendorong siswa mengkonstruksikan fakta-fakta pengetahuan yang dia peroleh berdasarkan konsep atau prinsip Biologi melalui proses eksplorasi dan investigasi, Pendekatan pembelajaran JAS mengutamakan siswa belajar dari mengalami dan menemukan sendiri dengan memanfaatkan lingkungan fisik, sosial dan budaya yang ada disekitarnya.
4.    Dalam pelaksanaannya integrasi pendidikan agama islam dengan sains dan teknologi menemui beberapa  permasalahan  antara lain; kualitas sumber daya manusia (sdm) umat islam, keterbatasan sarana dan prasarana serta sumber bacaan materi keagamaan terutama yang berkaitan dengan sains, sistem dan metode pendidikan yang diterapkan dalam proses kependidikan Islam masih belum seluruhnya mengintegrasikan sains dan teknologi, sejauh ini Pendidikan Agama Islam yang diberikan kepada peserta didik dianggap belum mampu mengantisipasi dampak-dampak negatif dari perkembangan sains dan teknologi, dan belum seluruhnya Guru Agama Islam memiliki kompetensi menjadi guru  agama sebagai hasil (produk) lembaga pendidikan profesional keguruan.
5.    Perkembangan sains menyebabkan umat islam lebih memahami dan meyakini akan keagungan Allah swt karena semakin banyak kita menemukan pengetahuan baru maka semakin kita merasa bahwa ilmu yang kita miliki masih sedikit dibandingan dengan ilmu Allah sehingga bertambahlah keyakinan kita akan keagungan Allah tuhan semesta alam.

Tidak ada komentar: