BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah sejak dua Abad silam
perkembangan dunia sains berikut turunannya tekhnologi cenderung berwatak
ateistik-materialistik, hasilnya pun kerap kali mengancam eksistensi agama.
Dengan berlandaskan pada metafisika yang bertentangan dengan agama, teori-teori
ilmiah sains cenderung menyudutkan agama, seperti teori penciptaan alam
semesta, asal-usul manusia, hubungan alam dengan Tuhan dan sebagainya.
Selanjutnya isu tentang perdebatan atau perjumpaan antara sains dan agama adalah
turunan dari permasalahan ini, dan menjadi genre tersendiri di dunia keilmuan.
Di tangan para teolog/agamawan dari Barat, perdebatan antara sains dan agama
menghasilkan gagasan “sains teistik”, yaitu: sains yang sensitive terhadap
keyakinan dan ajaran agama. Sementara dalam konteks Kristen kontemporer, Ian
Barbour mendasarkan pendekatan “integrasi” (integrasi teologis) dalam upayanya
mempertemukan sains dan agama dengan empat tipologinya yaitu; konflik,
independensi, dialog dan integrasi. Juga John F. Haught yang menggunakan
pendekatan konflik, kontras, kontak, dan konfirmasi.
Sementara dalam Islam
hubungan antara sains dan agama telah menjadi topik menarik selama lima puluh
tahun terakhir ini. Gagasan mengenai “sains Islami” atau “Islamisasi sains”
merupakan reaksi atas sains modern yang ateistik-materialistik tersebut. “Sains
Islami” ini pada mulanya dipopulerkan oleh para pemikir muslim seperti Sayyed
Hossein Nasr, Ziauddun Sardar, Ismail al-Faruqi, al-Attas dan akhir-akhir ini
Mehdi Golshani. Di mana pemikiran mereka kerap kali dilabeli dengan “islamisasi
ilmu”. Meskipun gagasan mereka berebeda, semuanya bergerak pada lapangan dan
tingkat yang sama yaitu tingkat epistemologi dan sedikit menyentuh aspek
metafisika.
Sejarah telah mencatat
bahwa, ilmu pengetahuan tidak begitu saja muncul dan diterima oleh masyarakat.
Cukup banyak generalisasi yang tidak memadai mengenai sifat dasar ilmu
pengetahuan. Memahami ilmu pengetahuan bukan saja perlu mengamati apa yang
diperbuat oleh seorang ilmuan, akan tetapi juga mengetahui apa yang
mendorongnya menekuni ilmu pengetahuan sebagai karir atau hobi. Sifat ilmu
pengetahuan adalah upaya mencari pengetahuan. Ini berarti bahwa minat ilmuan
senantiasa diarahkan oleh rasa cinta akan pengetahuan-dorongan untuk memuaskan
rasa ingin tahu seseorang mengenai hal dan proses tertentu dan luapan rasa
gembira telah menemukan dan memahami sesuatu yang diperoleh seseorang apabila
dorongan itu terpenuhi. Memang benar bahwa cinta akan pengetahuan tidak
merupakan satu-satunya motivasi kegiatan ilmiah.
Ilmu pengetahuan dicirikan
sebagai usaha untuk mengumpulkan hasil pengetahuan secara teratur dan
sistematis, berkat adanya refleksi. Pengungkapan hasil itu terjadi dalam
macam-macam model, yang dapat digolongkan menjadi dua dasar, yaitu model aprosteriori
dan model apriori. Model apriori dirintis oleh Plato, sedangkan Aristoteles
mengutarakan suatu model ilmu dimana sebagai hasil dari pemeriksaan aposteriori
diperoleh suatu “pengetahuan melalui sebab musabab”, yang faham apriorinya
menjadi ciri khas ilmu.
Ilmu berkembang dengan
sangat pesat dan demikian juga jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk
menspesialisasikan diri pada satu bidang telaahan yang memungkinkan analisis
yang makin cermat dan dilaksanakan mengakibatkan objek forma dari disiplin
keilmuan menjadi semakin terbatas.
Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama
yakni filsafat alam yang kemudian menajadi rumpun ilmu-ilmu laman (the natural
sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu
sosial (the socaial sciences). Dalam makalah ini, penulis akan mencoba
memaparkan beberapa penjelasan mengenai Integrasi agama dan sains dalam lingkup
sekolah.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang yang
telah disampaikan, maka penulis merumuskan beberapa masalah yang akan di jawab
dalam makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana
integrasi agama dan sains dalam lingkup sekolah ?
2. Bagaimana
integrasi agama dan sains di barat ?
3. Bagaimana
model pembelajaran jelajah alam sekitar sebagai integrasi agama dan sains ?
4. Apakah
permasalahan integrasi nilai dalam tahap metodologi sains ?
5. Apa
manfaat integrasi agama dan sains terhadap teknologi masa kini ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah untuk mengkaji :
1. Untuk
mengetahui integrasi agama dan sains dalam lingkup sekolah
2. Untuk
mengetahui integrasi agama dan sains di barat
3. Untuk
mengetahui model pembelajaran jelajah alam sekitar sebagai integrasi agama dan
sains
4. Untuk
mengetahui permasalahan integrasi nilai dalam tahap metodologi sains
5. Untuk
mengetahui manfaat integrasi agama dan sains terhadap teknologi masa kini
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kurikulum
1.
Kelompok
Ilmu-ilmu Eksak (Sains) dan Ilmu Humaniora
a.
Ilmu-ilmu
Sains
Sains adalah Ilmu
pengetahuan di pakai sebagai kata kolektif untuk menunjukan bermacam-macam
pengetahuan dan sistematik dan objektif serta dapat di teliti kebenarannya.
Sebagai ilustrasi dikisahkan, bertanyalah seorang kawan kepada ahli filsafat
yang arif dan bijaksana, “Bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan
yang benar?
“Mudah saja”, jawab filosof itu, “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah
apa yang kau tidak tahu” Dari ilustrasi ini dapat digambarkan bahwa pengetahuan
dimulai dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses dari usaha manusia.
Beranjak dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah
pengetahuan, maka di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai
pengetahuan dan kebenaran.
Adapun beberapa
pengetahuan yang dimiliki manusia, yaitu: (1) Pengetahuan biasa atau common
sense; (2) Pengetahuan ilmu atau science; (3) Pengetahuan filsafat; (4)
Pengetahuan religi. Sedang ilmu pengetahuan sendiri mempunyai pengertian
sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistematika
mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum tentang
hal ikhwal yang diselidikinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat
dijangkau daya pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang
kebenarannya diuji secara empiris, riset dan experimental.
b.
Ilmu
Humaniora
1)
Sajarah Ilmu
Humaniora
Penelusuran atas
pengertian humaniora dalam sejarah peradaban umat manusia menjadi salah satu
titik tolak yang sangat penting. Woodhouse (2002:1) dalam artikelnya yang
berjudul The Nature of Humanities: Historical Perspektive menegaskan
bahwa istilah humaniora yang berasal dari program pendidikan yang
dikembangkan Cicero, yang disebutnya humanitas sebagai faktor penting
pendidikan untuk menjadi orator yang ideal. Penggunaan istilah humanitas oleh
Cicero mengarah pada pertanyaan tentang makna dalam cara lain bahwasanya
pengertian umum humanitas berarti kualitas, perasaan, dan peningkatan martabat
kemanusiaan dan lebih berfungsi normatif daripada deskriptif (Sastrapratedja,
1998:1).
Gellius mengidentikkan
humanitas dengan konsep Yunani paideia, yaitu pendidikan (humaniora)
yang ditujukan untuk mempersiapkan orang untuk menjadi manusia dan warga Negara
yang bebas. Pada zaman Romawi gagasan tersebut dikembangkan menjadi program
pendidikan dasariah. Beralih pada zaman Pertengahan pendidikan humaniora
berusaha menyatukan konsep paideia dengan kekristenan. Ketika memasuki zaman
Renaissance, para humanis Italia menghidupkan kembali istilah humanitas,
sebagaimana dipakai oleh Cicero, dan menjadi studi humanitas, yang mencakup
gramatika, retorika, puisi, sejarah, dan filasfat. Ketika itu dibedakan antara
apa yang dianggap Kekristenan dan apa yang dianggap secara otentik merupakan
esensi kemanusiaan. Oleh karena itu kemudian berkembang perbedaan antara studi divinitas
dan studi humanitatis (Sastrapratedja, 1988:2).
Pada zaman modern,
pengertian humanitas kemudian berkembang ke dalam dua makna khusus, yaitu: (1)
Mengacu pada perasaan kemanusiaan dan tingkah laku yang mengarah pada hal-hal
seperti: kelemahlembutan, penuh pertimbangan, kebajikan; (2) Tujuan pendidikan
liberal sebagaimana yang diformulasikan John Henry Newman dalam gagasan tentang
sebuah universitas.
Humanitas juga mengacu
pada perkembangan intelektual dan pelatihan intelektual atau proses dan tujuan
utama pendidikan liberal. Selanjutnya dalam sistem pendidikan di Barat dikenal
istilah artes liberales (liberal arts) dan di lingkungan Anglo-Saxon
disebut “humanities”. Pendidikan humaniora dianggap mempunyai fungsi
pengembangan “humanitas” dalam diri manusia (Woodhouse, 2002:2). Meskipun pada
zaman Aufklarung humaniora banyak dikritik, tetapi program itu tetap menjadi
dasar pendidikan pada abad ke-18 dan 19. Pada awal abad ke-19, ditekankan
perbedaan antara ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu alam. Dilthey membagi ilmu
menjadi dua kelompok yakni Natuurwissenschaft dan Geisteswissenschaft
(Mustansyir, 2003: 124). Setelah itu humaniora tidak lagi dipandang sebagai
dasar dari program pendidikan, tetapi lebih dilihat sebagai dimensi fundamental
dari dunia pengetahuan manusia.
Dewasa ini pengertian humanities
menurut Woodhouse (2002: 4) merupakan sekelompok disiplin pendidikan yang isi
dan metodenya dibedakan dari ilmu-ilmu fisik dan biologi, dan juga paling tidak
dibedakan dengan ilmu-ilmu sosial. Kelompok studi humanities meliputi
bahasa, sastra, seni, filasfat, dan sejarah. Disini inti humanitas kadangkala
ditentukan sebagai sekolah atau bagian dari sebuah universitas modern. Keadaan
yang mirip berlaku pula di Indonesia. Dalam sebuah artikel Indonesia’s
International Conference on Cultural Studies (2002:1) dikemukakan bahwa bidang
humaniora sebagaimana halnya ilmu sosial telah berperan dan menjadi saksi nyata
perkembangan fenomenal dari suatu paradigma baru dari ilmu-ilmu budaya.
Paradigma baru ini mencoba memahami secara kritis bagaimana gerak budaya, dan
dasar kekuatannya terletak pada karya di balik praktek-praktek budaya. Di
Indonesia meskipun unsur-unsur studi budaya telah membuka atau meratakan jalan
masuk ke dalam kurikulum beberapa program studi di bidang ilmu kemanusiaan dan
ilmu sosial, juga aktivitas berbagai kelompok peneliti independen, namun
sebagian besar masih dipahami sebagai sisi luar dari body of knowledge.
Kendatipun demikian dengan kehadiran globalisasi yang disertai dampak-dampak
yang ditimbulkannya atas dunia, ada tuntutan kuat agar ilmu-ilmu budaya di
Indonesia dikembangkan lebih serius. Dengan demikian ilmu budaya dapat
memperdayakan ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu sosial dalam lingkup yang lebih
luas. Sastrapratedja (1998: 2-3) menegaskan bahwa humaniora pada abad XX
mengalami perubahan yang mendalam dalam sistem pendidikan di Barat dikarenakan
beberapa faktor seperti: proliferasi ilmu-ilmu pengetahuan alam pada abad XX;
perkembangan ilmu pengetahuan menuntut adanya spesialisasi dalam berbagai
bidang ilmu pengetahuan; perkembangan ilmu-ilmu perilaku (behavioral sciences)
dan ilmu-ilmu sosial yang berbeda dari humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan;
universitas semakin menjadi institusi yang berorientasi profesionalitas.
Mahasiswa belajar di Universitas untuk menjadi seorang profesional yang akan
memperoleh pekerjaan. Universitas cenderung menjadi pragmatis dan lebih
cenderung memenuhi kebutuhan pasar.
Hal yang sama dapat pula
dirasakan kecenderungannya di Indonesia, terlebih lagi dengan dicanangkannya
otonomisasi kampus terasa kuatnya orientasi pasar, sehingga sebuah fakultas
akan dihargai kualitas akademiknya manakala alumninya berhasil memasuki dunia
kerja dengan masa tunggu yang relatif singkat. Disini sudah tidak dipersoalkan
lagi seberapa besar peran bidang humaniora di dalam membentuk kualitas akademik
seorang lulusan, yang ditonjolkan justru ia lulusan dari fakultas x dan
memiliki keahlian dalam bidang x.
2)
Karakteristik
Humaniora
Humaniora merupakan studi
yang memusatkan perhatiannya pada kehidupan manusia, menekankan unsur
kreativitas, kebaharuan, orisinalitas, keunikan, Humaniora berusaha mencari
makna dan nilai, sehingga bersifat normatif. Dalam bidang humaniora
rasionalitas tidak hanya dipahami sebagai pemikiran tentang suatu objek atas
dasar dalil-dalil akal, tetapi juga hal-hal yang bersifat imajinatif, sebagai
contoh: Leonardo da Vinci mampu menggambar sebuah lukisan yang mirip dengan
bentuk helikopter jauh sebelum ditemukannya helikopter. Humanities sebagai
kelompok ilmu pengetahuan mencakup bahasa baik bahasa modern maupun klasik,
linguistik, kesusastraan, sejarah, kritisisme, teori dan praktek seni, dan
semua aspek ilmu-ilmu sosial yang memiliki isi humanitis dan menggunakan metode
humanitis. J. Drost (2002:2) dalam artikelnya di KOMPAS, Humaniora, mengatakan
bahwa bidang humaniora yang menjadikan manusia (humanus) lebih manusiawi
(humanior) itu, pada mulanya adalah trivium yang terdiri atas gramatika,
logika, dan retorika. Gramatika (tata bahasa) bermaksud membentuk manusia
terdidik yang menguasai sarana komunikasi secara baik. Logika bertujuan untuk
membentuk manusia terdidik agar dapat menyampaikan sesuatu sedemikian rupa
sehingga dapat dimengerti dan masuk akal. Retorika bertujuan untuk membentuk
manusia terdidik agar mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar, dan mampu
menyesuaikan diri dan uraian dengan perasaan dan kebutuhan itu.
Ignas Kleden (1987: 72)
menyitir pendapat J. Habermas menunjukkan lima ciri ilmu humaniora yang
diletakkan dalam kategori hitoris-hermeneutis sebagai berikut: (1) Jalan untuk
mendekati kenyataan melalui pemahaman arti; (2) Ujian terhadap salah benarnya
pemahaman tersebut dilakukan melalui interpretasi. Interpretasi yang benar akan
meningkatkan intersubjektivitas, sedang interpretasi yang salah akan
mendatangkan sanksi (misal: senyum basabasi yang diinterpretasikan jatuh
cinta); (3) Pemahaman hermeneutis selalu merupakan pemahaman berdasarkan
prapengertian.
3)
Relevansi Humaniora Dengan
Perkembangan Iptek
Seorang pakar teknologi
Indonesia, M. T. Zen (2000, 97) dalam sebuah artikelnya Teknologi Nano dan
Revolusi Industri Abad Ke-21 mengatakan bahwa pada awal abad ke-21 ini
dunia dikuasai 3 bidang teknologi, yaitu teknologi informasi, bio-teknologi,
dan teknologi Nano. Teknologi informasi terkait dengan kemajuan di bidang
pertelevisian, internet, handphone yang memudahkan penyampaian dan penerimaan
informasi dalam akselerasi yang luar biasa. Bioteknologi terkait dengan
pemanfaatan di bidang peternakan, pertanian, kedokteran dan teknologi kloning
yang memanipulasi gen. Teknologi Nano ialah memanipulasi struktur molekul
dengan memanipulasi atom-atom menjadi molekul-molekul. Teknologi nano
menjadikan ilmuan mampu mengatur kedudukan atom-atom yang membentuk
molekul-molekul. Dalam perkembangan yang mutakhir masih ada satu bidang yang
sedang diupayakan oleh negara-negara maju (terutama Amerika), yakni teknologi
Terraformasi, yakni penjajagan manusia untuk membuat struktur kehidupan baru di
ruang angkasa (misalnya di Planet Mars).
Dimanakah relevansi bidang
humaniora terhadap perkembangan teknologi-teknologi tersebut? Dalam teknologi
informasi, peran bahasa sebagai sarana komunikasi merupakan hal yang tak dapat
diragukan. Sebab sulit dibayangkan sebuah informasi yang disampaikan tanpa
melalui bahasa. Dalam Bio-teknologi analisis kritis melalui logika dan etika
sangat diperlukan sebagai bahan pertimbangan: seberapa pentingkah pengembangan
bio-teknologi itu bagi nilai-nilai kemanusiaan? Cukup masuk akallah melakukan
klonasi terhadap makhluk manusia melalui proses aseksual yang pada gilirannya
akan melahirkan bentuk penyeragaman manusia? Apa gerangan dampak yang
ditimbulkan oleh penyeragaman tersebut bagi eksistensi manusia? Dalam teknologi
Nano, M.T. Zen sendiri tidak mampu menjawab pertanyaan yang muncul yakni kemana
teknologi Nano akan membawa manusia. Apakah manusia akan sampai ke titik
kehidupan buatan (artifical life)? Dalam teknologi Terraformasi,
seandainya unsur-unsur kehidupan dapat dibentuk di planet Mars dalam jutaan
tahun yang akan datang, sudah siapkah manusia untuk menghuni wilayah baru itu
dengan meninggalkan planet bumi sebagai wilayah usang yang menyebalkan?
Melalaikan dimensi kemanusiaan (humanior) dalam setiap derap langkah
kemajuan Iptek hanya akan menimbulkan “rasa sesal kemudian tiada guna” Jurnal
Filsafat, Desember 2003, Jilid 35, Nomor 3 214. Dalam filsafat Yunani,
Logos, ethos, dan pathos merupakan sarana dasariah manusia dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang harus dilakukan secara simultan.
2.
Wacana
Relasi Agama dan Sains Barat
Wacana integrasi antara agama dan
sains sudah cukup lama. Walaupun tak selalu menggunakan kata
“integrasi” secara eksplisit. Katakan saja, di kalangan Muslim modern gagasan
perlunya pemaduan agama dan sains, atau wahyu dan akal, telah cukup lama
beredar. Cukup popular juga di kalangan Muslim pandangan bahwa pada masa
kejayaan sains dalam peradaban Islam, agama dan ilmu telah integrated. Bagi
kalangan Kristen kontemporer, pendekatan “integrasi” dipopulerkan oleh
Ian G. Barbour, yang menyebut salah satu dari empat tipologi hubungan
sains-agama dengan “integrasi”. Teolog-cum-fisikawan Kristen ini
dianggap sebagai salah seorang peletak dasar wacana agama dan sains yang
berkembang di Barat, tetapi pengaruhnya telah menyebar berkat penerjemahan
buku-bukunya, termasuk di Indonesia.
Berbicara tentang relasi
antara agama dan sains khususnya dalam perspektif epistemologi keilmuan Islam
kontemporer, tampaknya merupakan sebuah kerumitan tersendiri. Agama Islam yang
di masa awalnya sangat concern dengan visi sains, belakangan justeru dikesankan
menjadi sebuah agama yang ‘menjauh’ dari hiruk-pikuk dunia sains. Kalau kita perhatikan, berbagai
prestasi temuan di bidang iptek tingkat dunia, khususnya sejak abad
renaissance, hampir semuanya didominasi oleh para ilmuwan Barat.
Temuan sains di dunia
Muslim hampir-hampir dikatakan tidak ada. Penemu sains abad 20 ini yang muncul
dari kalangan dunia Muslim paling-paling baru Abdus Salam di bidang dunia
fisika, atau Habibie yang menemukan teori keretakan pesawat, sehingga Habibie
digelar sebagai Mr. Crack. Sedangkan ribuan jenis temuan lainnya masih
didominasi oleh ilmuwan Barat. Menjadi sebuah pertanyaan besar di sini, mengapa
fenomena kemandekan temuan sains bisa terjadi di dunia Muslim. Tentunya beragam
jawaban bisa dikemukakan, sekedar ilustrasi kecil, diantaranya akibat politik
isolatif umat Islam terhadap dinamika pengetahuan modern. Dalam kaitan ini
menarik kita kutip pernyataan Nurcholish Madjid (1992: lvi).
3.
Bibit
Dikotomi Antara Agama dan Sains di Sekolah Sebagai Implikasi Sains Barat
Persolaan dikotomi ilmu tersebut memang tak lepas dari kungkungan metodologi
dan epistimologi keilmuan Barat. Mengangungkan ilmu pengetahuan (akal)
dan menyingkirkan peran Agama didalamnya, memang bagian yang tak bisa
terpisahkan dari metodologi mereka. Sejak periode modern, post-modern hingga
saat ini identitas tersebut masih sangat melekat pada tradisi mereka. Para
pemikir post moderisme memiliki argument-argumen yang lebih radikal (Wattimena.
2008 : 235).
Terdapat sebab munculnya
dikotomi ilmu, Sebab munculnya dikotomi (dualisme) ilmu yang dapat di analisis
diantaranya: Pertama, dikotomi ilmu merupakan warisan dari zaman
kolonial belanda, Karena anak-anak yang bisa masuk sekolah belanda sebelum
kemerdekaan hanya 6% dan terbatas bagi anak-anak kaum bangsawan dan saudagar,
maka anak-anak orang Islam memilih Madrasah atau Pondok Pesantren yang memang
sudah ada sebelum munculnya sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah kolonial
belanda (Muliawan, 2005:206). Kedua, ketika hancurnya
sarana pengembangan ilmu pengetahuan dan perpustakaan Islam karena mengamuknya
tentara mongol yang meludeskan kota Bagdad serta dihancurkannya kekuatan umat Islam
di Spanyol dan terbunuhnya banyak ilmuan. Ketiga, Krisis konseptual, atau terjadinya pembagian ilmu-ilmu
di dalam Islam, yaitu ilmu-ilmu keduniaan (general sciences), yang
kemudian dihadapakan dengan ilmu-ilmu agama (al-‘umum al-diniyyah/ religious
sciences). Keempat, dikotomi dalam pendidikan islam timbul akibat dari faktor
perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian pesat
sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya (Mulkhan,
1998:87).
Dampak dari dikotomi ilmu
sebenarnya sangatlah besar, dan persoalan ini yang menjadi salah
satu yang faktor kemunduran pada umat Islam. Realitas tersebut
sederhana dapat dilihat, misalnya dalam dunia pendidikan, banyak sarjana
agama yang mengabaikan dan tidak paham ilmu umum sehingga tidak mampu
menjawab problematika keilmuan dan tekhnologi modern, sehingga menghambat
penyebaran nilai-nilai Islam dalam ranah yang lebih luas. sebaliknya
banyak sarjana umum yang tidak paham agama, sehingga berefek pada dekadensi
moral, dan tentu ini merusak nilai kemurnian ilmu itu sendiri (Muhammad, 2012 :
http://muhammad-nhur.blogspot.com/feeds/posts/default), disinilah
terlihat ketidak seimbangan, ketika sarjana agama hanya mampu menguasi ranah
Syariat dan sarjana umum yang hanya ahli di bidang umum.
Realitas dikotomi ilmu
tersebut juga terjadi pada instansi sekolah yaitu terjadinya pemisahan sekolah
umum dan agama. Dalam muatan kurikulum misalkan, Sekolah umum dominan ilmu
yang diajarkan hanya ilmu umum (science) dan tidak digabungkan dan diarahkan
pada nilai-nilai agama. Sehingga metode tersebut akan tergiring pada pola pikir
yang sekuler dan berdampak pada degradasi moral, akhirnya memicu pada rusaknya
generasi Islam, disebabkan pondasi ilmu agama yang lemah. Pada akhirnya, agama
dianggap tidak penting dalam persoalan ilmu dan dunia. Dari sinilah yang
kemudian banyak umat Islam tergiring pada pemahaman sekuler. Karena dari sejak
sekolah sampai perguruan tinggi, konsep ini terus dipraktekkan secara sadar
atau tidak dapat mempengaruhi gaya hidup dan pola pikir ummat. Samsul Nizar
menambhakan disatu pihak ada pendidiakan yang memperdalam ilmu pengetahuan
modern yang kering dari nilai-nilai keagamaan, dan sisi lain ada pendidikan
yang hanya memperdalam masalah agama yang terpisahkan dari perkembangan ilmu
pengetahuan. Secara teoritis makna dikotomi adalah pemisahan secara teliti dan
jelas dari satu jenis menjadi dua yang terpisah satu sama lain dimana yang satu
sama sekali tidak dapat dimasukan kedalam yang satunya lagi dan sebaliknya (Samsul Nizar, 2010
op,cit:230).
Selain itu, akibat (peng) dikotomian ilmu sangatlah
terkait dengan masalah pendikotomian pendidikan (kelembagaan)
(Lembaga pendidikan di Indonesia ada yang
berada di bawah naungan Depag dan Diknas. Jasa ungguh Muliawan. 2005 Op,
cit.hal. 20). Pandangan beberapa pejabat yang menangani bidang pendidikan
yang kurang menghargai sekolah-sekolah Islam mendorong sebagian pemimpin dan
pengelola sekolah tersebut berpegang pada sikap semula yaitu berdiri di kutub
yang berbeda. Akibat lain dari dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama,
adalah Munculnya ambivalensi dalam sistem pendidikan Islam di mana selama ini,
lembaga-lembaga semacam pesantren dan madrasah mencitrakan dirinya sebagai
lembaga pendidikan Islam dengan corak tafaqquh filal-din yang
menganggap persoalan mu’amalah bukan garapan mereka. Sementara itu, modernisasi
sistem pendidikan dengan memasukan kurikulum pendidikan agama ke dalam lembaga
umum mengakibatkan terjadi pergeseran makna bahwa mata pelajaran agama hanya
untuk mencapai tujuan sistem pendidikan.
B.
Integrasi
Agama dan Sains
1.
Relasi Agama
Dan Sains
Sains dan agama merupakan dua
entitas yang berbeda, namun keduanya sama-sama memiliki peranan sangat penting
dalam kehidupan manusia. Dengan lahirnya agama, menjadikan umat manusia
memiliki iman yang menjadikan hidupnya lebih terarah, berkat agama pula telah
menjadikan manusia lebih beretika, bermoral dan beradab. Sementara sains yang
memberikan banyak pengetahuan kepada manusia, dengan semakin berkembangnya
sains akan memajukan dunia dengan berbagai penemuan yang gemilang serta
memberikan kemudahan fasilitas yang sangat menunjang keberlangsungan hidup
manusia.
Sains dan agama berbeda, karena
mereka memiliki paradigma yang berbeda pula, pengklasifikasian secara jelas
antara sains dan agama menjadi suatu trend tersendiri di masyarakat zaman
renaissance dan trend ini menjadi dasar yang kuat hingga pada perkembangan
selanjutnya. Akibatnya, agama dan sains berjalan sendiri-sendiri dan tidak
beriringan, maka tak heran kalau kemudian terjadi pertempuran di antara
keduanya. Sains menuduh agama ketinggalan zaman, dan agama balik menyerang
dengan mengatakan bahwa sains sebagai musuh Tuhan.
·
Perbedaan
karakteristik agama dan sains menurut (Sudjana, 2008:4-5) :
No
|
Karakteristik
|
Sains
|
Agama
|
1
|
Sumber
|
Akal, rasio, Ro’yu
|
Wahyu (Alqur’an dan Hadist)
|
2
|
Obyek
|
fisik, sebab-akibat, kausalitas
|
makna (meaning), nilai (values), moral:
baik-buruk, pahala-dosa, surga-neraka
|
3
|
Pertanyaan
|
how (bagaimana)
|
why (mengapa)
|
4
|
Sifat
|
tertutup, menginformasikan, menjelaskan
|
terbuka, mengungkapkan, mereformasi
|
5
|
Karakter
|
metrical, terukur dg ‘angka’
|
non-metrical
|
6
|
Isi
|
logika, teoretik, kaidah, predicable futuristic
|
iman, wahyu
|
7
|
Operasi
|
pengalaman, empiric, instrumentatif
|
sami’na wa atho’na, taken for granted
|
8
|
Keterlibatan
|
tidak, ‘penonton’
|
terlibat, pelaku
|
a.
Tipologi hubungan Sains dan Agama
Agama dan Sains tidak
selamanya berada dalam pertentangan dan ketidaksesuaian. Banyak kalangan yang
berusaha mencari hubungan antara keduanya. Sekelompok orang berpendapat agama
tidak mengarahkan pada jalan yang dikehendakinya dan agama juga tidak
memaksakan sains untuk tunduk pada kehendaknya. Kelompok lain berpandapat bahwa
sains dan agama tidak akan pernah dapat ditemukan, keduanya adalah entitas yang
berbeda dan berdiri sendiri, memiliki wilayah yang terpisah baik dari segi
objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, serta peran yang
dimainkan.
1) Tipologi
Ian G. Barbour
a) Konflik
Pandangan konflik ini mengemuka pada
abad ke–19, dengan tokoh-tokohnya seperti: Richard Dawkins, Francis Crick,
Steven Pinker, serta Stephen Hawking. Pandangan ini menempatkan sains dan agama
dalam dua ekstrim yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan
pernyataan yang berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu di antara
keduanya. Menolak agama dan menerima sains, ata sebaliknya. Masing-masing
menghimpun penganut dengan mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains
menegasikan eksistensi agama, begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui
keabsahan eksistensi masing-masing. Agama dan sains adalah dua ekstrem yang
saling bertentangan, saling menegasikan kebenaran lawannya.
Barbour menanggapi hal ini dengan
argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan
memilih antara sains dan agama. Kepercayaan agama menawarkan kerangka makna
yang lebih luas dalam kehidupan. Sedangkan sains tidak dapat mengungkap rentang
yang luas dari pengalaman manusia atau mengartikulasikan
kemungkinan-kemungkinan bagi tranformasi hidup manusia sebagaimana yang
dipersaksikan oleh agama. (Barbour, 2006 : 224).
Dalam konflik pertentangan dipetakan
dalam 2 bagian yang berseberangan :
·
Materialisme
ilimiah
Asumsi : menganggap bahwa materi
sebagai realita dasar alam (pentingnya realitas empiris), sekaligus meyakini
bahwa metode ilmiah adalah satu-satunya cara yang sahih untuk mendapatkan
pengetahuan.
·
Literalisme
kitab suci
Satu-satunya sumber kebenaran adalah
kitab suci, karena dianggap sebagai sekumpulan wahyu yang bersifat kekal dan
benar karena bersumber dari Tuhan, sehingga tak memungkinkan bersumber dari
yang lain termasuk alam semesta.
b) Independensi
Memisahkan agama dan sains dlam
wilayah yang berbeda, memiliki bahasa yang berbeda, berbicara mengenai hal-hal
yang berbeda, berdiri sendiri membangun independensi dan otonomi tanpa saling
mempengaruhi. Agama mencakup nilai-nilai, sedangkan sains berhubungan dengan
fakta. Dibedakan berdasarkan masalah yang ditelaah, domian yang dirujuk dan
metode yang digunakan.
Menurut Barbour (2006 : 66), Tuhan
adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak dapat diketahui
kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya bergantung pada
kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya sains. Saintis
bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur teologi, demikian
pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya berbeda. Sains
dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi berdasarkan
wahyu Ilahi. Barbour mencermati bahwa pandangan ini sama-sama mempertahankan
karakter unik dari sains dan agama. Namun demikian, manusia tidak boleh merasa
puas dengan pandangan bahwa sains dan agama sebagai dua domain yang tidak
koheren.
Agama dan sains adalah dua domain
yang terpisah yakni agama atau Tuhan hanya dapat dikenal sebagaimana yang
diwahyukan, tidak dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Sedangkan
sains dapat dikenali melalui fenomena dan empiris. Sains dibangun berdasarkan
pengamatan dan penalaran manusia, sedangkan teologi berdasarkan wahyu.
Sains dan agama ditafsirkan sebagai
dua bahasa yang tidak saling berkaitan karena fungsi masing-masing berbeda.
Bahasa agam adalah seperangkat pedoman yang menawarkan jalan hidup yang
berprinsip pada moral tertentu, sedangkan sains dianggap sebagai serangkaian
konsep untuk memprediksi dan mengontrol alam.
c) Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan
antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada
pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama
terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama
lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah
menekankan kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk
dialognya adalah dengan membandingkan metode sains dan agama yang dapat
menunjukkan kesamaan dan perbedaan. Namun, dialog tidaak menawarkan kesatuan
konseptual sebagaimana diajukan pandangan integrasi. Mengutamakan tingkat kesejajaran
antara sains dan agama.
Dialog menekankan kemiripan dalam
pra anggapan, metode dan konsep.
·
Pra
anggapan dan pertanyaan batas, Memunculkan pertanyaan batas, mengajukan
pertanyaan fundamental, ilmuwan dan agamawan dapat bekerja sama untuk
menjelaskan.
·
Kesamaan
metodologis dan konseptual, Sains tak selamanya obyektif, agama tidak selamanya
subyektif.
Barbour (2006 : 32) memberikan
contoh masalah yang didialogkan ini dengan digunakannya model-model konseptual
dan analogi-analogi ketika menjelaskan hal-hal yang tidak bisa diamati secara
langsung. Dialog juga bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang ilmu pengetahuan yang mencapai tapal batas. Seperti: mengapa alam
semesta ini ada dalam keteraturan yang dapat dimengerti? dan sebagainya.
Ilmuwan dan teolog dapat menjadi mitra dialog dalam menjelaskan fenomena
tersebut dengan tetap menghormati integritas masing-masing.
Dalam menghubungkan agama dan sains,
pandangan ini dapat diwakili oleh pendapat Albert Einstein, yang mengatakan
bahwa “Religion without science is blind : science without religion is lame“.
Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh.
Demikian pula pendapat David Tracy, seorang teolog Katolik yang menyatakan
adanya dimensi religius dalam sains bahwa intelijibilitas dunia memerlukan
landasan rasional tertinggi yang bersumber dalam teks-teks keagamaan klasik dan
struktur pengalaman manusiawi (Barbour, 2006:76).
d) Integrasi
Pandangan ini melahirkan hubungan
yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu
diantara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama
dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan
pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat
memperkaya pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
Ada beberapa pendekatan yang
digunakan dalam hubungan integrasi ini. Pendekatan pertama, berangkat dari data
ilmiah yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh kesepakatan
dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah
ulang doktrin-doktrin agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau
dengan kata lain, keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan
ulang sesuai dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan
ditafsirkan dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang sama.
Demikian Barbour menjelaskan tentang hubungan integrasi ini ( Ian G. Barbour,
2006 : 42 )
2)
Tipologi versi John Haught
Menurut Haught, hubungan agama dan
sains diawali dengan titik konflik antara agama dan sains untuk
mengurangi konflik, dilakaukan pemisahan yang jelas batas-batas agama dan sains
agar tampak kontras / perbedaaan keduanya. Jika batas keduanya
sudah terlihat, langkah berikutnya adalah mengupayakan agar keduanya berdialog
/ kontak. Setelah tahap ini dapat ditemukan kesamaan tujuan yaitu
mencapai pemahaman yang benar tentang alam, selanjutnya antara agama dan sains
saling melengkapi / konfirmasi (Haught, 1995).
2.
Tujuan
Epestemik Relasi Agama dan Sains
Dalam
pandangan saintis secara umum, agama dan ilmu pengetahuan mempunyai perbedaan.
Bidang kajian agama adalah metafisik, sedangkan bidang kajian sains / ilmu
pengetahuan adalah alam empiris. Sumber agama dari Tuhan, sedangkan ilmu
pengetahuan dari alam. Dari segi tujuan, agama berfungsi sebagai pembimbing
umat manusia agar hidup tenang dan bahagia didunia dan di akhirat. Adapun sains
/ ilmu pengetahuan berfungsi sebagai sarana mempermudah aktifitas manusia di dunia.
Kebahagiaan di dunia, menurut agama adalah persyaratan untuk mencapai
kebahagaian di akhirat (Amsal, 2004).
Keduanya bisa
saja menjadi suatu hal yang saling mendukung antara ilmu Tuhan yang bersifat
absolut dan ilmu manusia yang pada dasarnya terus - menerus mengalami
perkembangan dan bisa jadi bersifat relatif. Suatu hal yang menjadi
permasalahan adalah, tidak selamanya pandangan agama bisa diklaim bahwa ia
langsung dari Tuhan (sesuai dengan maksudnya) ketika itu bersifat penafsiran,
karena pada dasarnya penafsiran terhadap teks - teks agama (kitab suci) adalah
hasil penerjemahan manusia terhadap teks tersebut mengenai “maksud” Tuhan
melalui firman - firmannya. Manusia bisa saja salah menafsirkannya, atau bisa
juga tidak secara komprehensif menjelaskan “maksud Tuhan” tersebut. Begitupun
juga dengan sains. Tidak selamanya juga sains yang kita pelajari saat ini dari
para ahli bisa diklaim sebagai kebenaran yang mutlak. Sains pada umumnya juga
mengalami perkembangan dan bisa saja di kemudian hari dibantah oleh teori -
teori lain dan bisa jadi juga kurang lengkap dan teori tersebut dikembangkan
oleh ilmuwan - ilmuwan lain di kemudian harinya.,
Menurut (Amstal, 2004)
bahwa agama cenderung mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah
mapan, eksklusif dan subjektif. Sementara ilmu pengetahuan selalu mencari yang
baru, tidak terikat dengan etika, progesif, bersifat inklusif, dan objektif.
Meskipun keduanya memiliki perbedaan, juga memiliki kesamaan, yaitu bertujuan
memberi ketenangan. Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada
janji kehidupan setelah mati, Sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus
kemudahan bagi kehidupan di dunia. Misalnya, Tsunami dalam Konteks agama
adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangan-Nya tentang alam secara keseluruhan.
Oleh karena itu, manusia harus bersabar atas cobaan tersebut dan mencari hikmah
yang terkandung dibalik Tsunami. Adapun menurut ilmu pengetahuan, Tsunami
terjadi akibat pergeseran lempengan bumi, oleh karena itu para ilmuwan harus
mencari ilmu pengetahuan untuk mendeteksi kapan tsunami akan terjadi dan bahkan
kalau perlu mencari cara mengatasinya.
Karekteristik agama dan
ilmu pengetahuan tidak selau harus dilihat dalam Konteks yang berseberangan,
tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu
kehidupan manusia yang lebih layak. Osman Bakar mengatakan bahwa epistemology,
metafisika, teologi dan psikologi memiliki peran penting dalam mengembangkan
intelektual untuk merumuskan berbagai hubungan konseptual agama dan ilmu pengetahuan.
Peran utamanya adalah memberikan rumusan-rumusan konseptual kepada para ilmuan
secara rasional yang bisa dibenarkan dengan ilmiah dan dapat dipertanggung
jawabkan untuk digunakan sebagai premis-premis dari berbagai jenis sains.
Misalnya kosmologi, dengan adanya kosmologi dapat membantu meringankan dan
mengkonseptualkan dasar-dasar ilmu pengetahuan seperti fisika dan biologi.
Ilmu pengetahuan yang
dipahami dalam arti pendek sebagai pengetahuan objektif, tersusun, dan teratur.
Ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari agama. Sebut saja al-Quran,
al-Quran merupakan sumber intelektualitas dan spiritualitas. Ia merupakan
sumber rujukan bagi agama dan segala pengembangan ilmu pengetahuan. Ia
merupakan sumber utama inspirasi pandangan orang islam tentang keterpaduan ilmu
pengetahuan dan agama. Manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan
melalui banyak cara dan jalan, tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal
dari Tuhan. Dalam pandangan al-Quran, pengetahuan tentang benda-benda menjadi
mungkin karena Tuhan memberikan fasilitas yang dibutuhkan untuk mengetahui.
Para ahli filsafat dan ilmuan muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir
dan mengetahui, akal manusia mendapatkan pencerahan dari Tuhan Yang Maha
mengetahui sesuatu yang belum diketahui dan akan diketahui dengan lantaran
model dan metode bagaimana memperolehnya (Amstal, 2004).
Al-Quran bukanlah kitab
ilmu pengetahuan, tetapi ia memberikan pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu
pengetahuan yang selalu dihubungkan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual.
Panggilan al-Quran untuk “membaca dengan Nama Tuhanmu” telah dipahami dengan
pengertian bahwa pencarian pengetahuan, termasuk didalamnya pengetahuan ilmiah
yang didasarkan pada pengetahuan tentang realitas Tuhan. Hal ini dipertegas
oleh Ibnu Sina yang menyatakan, Ilmu pengetahuan disebut ilmu pengetahuan yang
sejati jika menghubungkan pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan Prinsip
Tuhan.
Agama dan ilmu pengetahuan
memang berbeda metode yang digunakan, karena masing-masing berbeda fungsinya.
Dalam ilmu pengetahuan kita berusaha menemukan makna pengalaman secara
lahiriyah, sedangkan dalam agama lebih menekankan pengalaman yang bersifat
ruhaniah sehingga menumbuhkan kesadaran dan pengertian keagamaan yang mendalam.
Dalam beberapa hal, ini mungkin dapat dideskripsikan oleh ilmu pengetahuan
kita, tetapi tidak dapat diukur dan dinyatakan dengan rumus-rumus ilmu pasti.
Sekalipun demikian, ada satu hal yang sudah jelas, bahwa kehidupan jasmani dan
rohani tetap dikuasai oleh satu tata aturan hukum yang universal. Ini berarti,
baik agama maupun ilmu pengetahuan, yaitu Allah. Keduanya saling melengkapi dan
membantu manusia dalam bidangnya masing-masing dengan caranya sendiri.
Fungsi agama dan ilmu
pengetahuan dapat dikiaskan seperti hubungan mata dan mikroskop. Mikroskop
telah membantu indera mata kita yang terbatas, sehingga dapat melihat
bakteri-bakteri yang terlalu kecil untuk dilihat oleh mata telanjang. Demikian
pula benda langit yang sangat kecil dilihat dengan mata telanjang, Ini bisa
dibantu dengan teleskop karena terlalu jauh. Demikian halnya dengan wahyu
Ilahi, telah membantu akal untuk memecahkan masalah-masalah rumit yang diamati
oleh indera. Jika ini hanya dilakukan oleh akal maka akan menyesatkan manusia (Osman, 2008).
3.
Cara Integrasi Agama Dan Sains :
Suatu Pendekatan Interdisiplin
Kaitannya
dengan integrasi agama dan sains, yang dibutuhkan pendidikan Islam saat ini
adalah sistem pendidikan dengan sebutan Interdisplin Sains dalam Islam
(Inter-discipline Sciences in Islam). Paradigma integratif ini sudah waktunya
dikembangkan dalam abad modern ini sebagai proptotipe kebangkitan peradaban
baru yang akan menggeser peradaban saat ini yang menurut hemat penulis sudah
diambang kebangkrutan dilihat dari berbagai indikator fisik dan non-fisik.
Dengan sistem pendidikan yang baru dimana kurikulum yang diajarkan merupakan
penyatuan utuh antara nilai wahyu dan sains. Maka diharapkan para alumni
lembaga pendidikan Islam mampu menjabarkan kaedah-kaedah sains dan agama dalam
bentuk cara berfikir dan tingkah laku (akhlaq) secara terpadu (integrated) dan
menyeluruh (holistik) di masyarakat sehingga dimasa depan terciptalah tatanan
masyarakat yang lebih baik.
Dengan
demikian, pendidikan Islam di masa mendatang harus memberi prioritas pada
materi pembelajaran yang akan membantu untuk menghasilkan ilmuan-ilmuan,
teknolog-teknolog, dan insinyur-insinyur, serta kelompok profesional lain, yang
peran dan kontribusinya sangat penting bagi kemajuan ekonomi. Tetapi hal juga
berarti sebuah lembaga pendidikan Islam tidak sekadar berkepentingan untuk
menghasilkan sejenis ilmuan, teknolog, atau insinyur, yang berbicara agama
secara kualitatif, tidak berbeda dari mereka yang dihasilkan oleh kebanyakan
pendidikan umum. Tetapi, ia harus berkepentingan untuk mendidik ilmuan-ilmuan,
insinyur-insinyur, serta teknolog-teknolog “jenis baru” yang terinternalisasi
di dalam dirinya kebijakan dan pengetahuan, iman spiritual dan pikiran
rasional, kreativitas dan wawasan moral, kekuatan inovatif dan kebaikan etis, serta
sensivitas ekologis berkembang sepenuhnya secara harmonis tanpa meruntuhkan
kemungkinan bagi mereka untuk mencapai keunggulan dan kegemilangan dalam bidang
dan spesialisasi masing-masing (Ahmad, 2010. http://blog.uin-malang.ac.id/ahmadbarizi/2010/06/26/panduan-riset-integrasi-sains-dan-islam/).
Dari
kerangka dasar semacam itu, pendidikan Islam kemudian didudukkan dalam sistem
klasifikasi keilmuan teoantroposentris-integralistik, yaitu sistem klasifikasi
yang memadukan secara integral antara transmitted knowledges dan acquired
knowledges melalui penggunaan pendekatan dan metodologi keilmuan
interdisipliner (integrasi dan interkoneksi). Dengan demikian, pendidikan Islam
tidak lagi menjadi disiplin ilmu yang eksklusif dan terkucilkan (isolated
entities), tetapi justru menjadi disiplin ilmu yang responsif terhadap berbagai
permasalahan yang aktual (current issues).
C. Model pembelajaran jelajah alam
sekitar sebagai integrasi agama dan sains
Peserta didik akan lebih banyak memperoleh
nilai-nilai pendidikan bila mereka menemukan sendiri konsep-konsep tentang alam
sekitarnya melalui kegiatan proses keilmuan. Hal ini menimbulkan konsekuensi
bagi pola pembelajarannya.
1. Latar Belakang Pendekatan JAS
Dipilihnya pendekatan JAS sebagai pendekatan
pembelajaran yang dianggap mampu menciptakan siswa yang produktif dan inovatif
adalah dengan alasan-alasan berikut:
- Sejauh ini
pelaksanaan pendidikan/pembelajaran Biologi masih didominasi oleh suatu
kondisi kelas yang masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan,
ceramah masih menjadi pilihan utama guru dalam mengajar, proses sain belum
biasa dikembangkan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran masih menekankan pada hasil belajar dan bukan
kegiatan untuk menguasai proses. Untuk itu perlu dipilih suatu pendekatan
yang lebih memberdayakan siswa. Suatu pendekatan pembelajaran yang tidak
mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi dapat mendorong siswa
mengkonstruksikan fakta-fakta pengetahuan yang dia peroleh berdasarkan
konsep atau prinsip Biologi melalui proses eksplorasi dan investigasi.
b.
Pendekatan pembelajaran JAS
mengutamakan siswa belajar dari mengalami dan menemukan sendiri dengan
memanfaatkan lingkungan fisik, sosial dan budaya yang ada disekitarnya.
c. Tuntutan
kurikulum bahwa hasil belajar peserta didik berupa perpaduan antara aspek
kognitif, afektif dan psikomotor menuntut suatu pembelajaran yang menekankan
keaktifan peserta didik secara fisik, mental, intelektual dan emosional.
2.
Komponen-komponen
Pendekatan JAS
Pendekatan JAS terdiri atas beberapa komponen yang
seyogyanya dilaksanakan secara terpadu. Adapun komponen-komponen JAS adalah
sebagai berikut:
a.
Eksplorasi
Dengan melakukan eksplorasi
terhadap lingkungannya, seseorang akan berinteraksi dengan fakta yang ada di
lingkungan sehingga menemukan pengalaman dan sesuatu yang menimbulkan
pertanyaan atau masalah. Dengan adanya masalah manusia akan melakukan kegiatan
berpikir untuk mencari pemecahan masalah. Dalam memecahkan masalah tidak
berdasar pada perasaan tetapi lebih ke penalaran ilmiah (Suriasumantri, 2000).
Lingkungan yang dimaksud disini tidak hanya lingkungan fisik saja, akan tetapi
juga meliputi lingkungan sosial, budaya dan teknologi.
b.
Konstruktivisme
Pengetahuan dahulu dianggap
sebagai kumpulan fakta. Akan tetapi sekarang, pendapat ini mulai bergeser,
terutama di bidang sains, pengetahuan lebih
dianggap sebagai suatu proses pembentukan (konstruksi) yang terus menerus,
terus berubah dan berkembang (Suparno, 1997). Sarana yang tersedia bagi
seseorang untuk mengetahui sesuatu adalah alat inderanya.
Seseorang berinteraksi dengan
lingkungannya melalui alat inderanya, melihat, mendengar, menyentuh, mencium
dan merasakannya. Menurut Lorsbach & Tobin (1992) dalam Suparno (1997),
selama proses berinteraksi dengan lingkungan, seseorang akan memperoleh
pengetahuan. Jadi pengetahuan ada dalam diri sesorang yang sedang mengetahui.
Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru).
Paserta didik sendiri yang harus mengartikan pelajaran yang disampaikan guru
dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-pengalaman mereka sebelumnya. Dalam
pembentukan pengetahuan, menurut Piaget (1970) terdapat dua aspek berpikir
yaitu aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek operatif lebih penting karena
menyangkut operasi intelektual atau sistem transformasi. Berpikir operatif
inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari
suatu level tertentu ke level yang lebih tinggi.
c. Proses Sains
Proses sains atau proses kegiatan
ilmiah dimulai ketika seseorang mengamati sesuatu. Sesuatu diamati karena
menarik perhatian, mungkin memunculkan pertanyaan atau permasalahan.
Permasalahan ini perlu dipecahkan melalui suatu proses yang disebut metode ilmiah
untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Menurut Huxley (1964), metode
ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerjanya pikiran.
Sedangkan berpikir adalah suatu
kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh
dengan metode ilmiah bersifat rasional dan teruji sehingga merupakan
pengetahuan yang dapat diandalkan. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir
deduktif dan induktif dalam membangun pengetahuan
D. Permasalahan
Integrasi Nilai (Religius) Dalam Tahap Metodologi Sains
Masalah
pembelajaran Sains dalam mencapai tujuannya bergantung kepada pandangan Guru
terhadap hakekat Sains itu sendiri. Pandangan tentang hakekat Sains ini
berkembang dari waktu ke waktu. Pandangan umum mengatakan bahwa Biologi
merupakan salah satu cabang Sains (Natural Science). Sains atau Ilmu
Pengetahuan Alam (IPA) adalah ilmu yang mempelajari fenomena atau gejala alam,
dan Biologi merupakan ilmu yang mempelajari kehidupan dan hidupnya suatu
organisme secara lahiriah. Hal ini berbeda dengan pandangan Sund (1979) bahwa
sains mencakup tiga hal, yaitu: Scientific Knowledge, Scientific Methods,
and Scientific Attitudes (Mulyana, 2004 : 119).
Hal
ini menunjukkan bahwa Sains merupakan suatu produk dan proses. Sains
sebagai pengetahuan ilmiah dihasilkan melalui metode ilmiah dan sikap ilmiah.
Untuk pembelajarannya mesti menanamkan pengetahuan ilmiah, metode ilmiah, dan
sikap ilmiah. Sikap ilmiah yang ditanamkan seperti objektif, jujur, menghargai
pendapat orang lain, bekerja sama, teliti, dan hati-hati. Karena itu,
pembelajaran Sains harus mencakup aspek-aspek kognitif, psikomotor, dan
affektif. Interaksi ketiga aspek tersebut akan menghasilkan kreativitas.
Pengembangan sikap dan perilaku kreatif pada peserta didik ini sangat penting
dalam suatu proses pembelajaran, karena hasil utama dalam proses pendidikan
adalah perubahan sikap dan tingkah laku peserta didik. Menurut Krech dan
Ballancy (1984) bahwa perubahan sikap seseorang dipengaruhi oleh informasi
yang diperoleh, keinginannya (wants), affiliasi kelompok, dan
kepribadiannya, serta Agama yang dianutnya. Dalam hal ini artinya,
orang menghargai Sains bergantung kepada penafsiran terhadap informasi tentang
Sains itu, apakah informasi itu bersumber dari para pakar pendidikan Sains,
juga informasi dari ajaran Agama yang dianutnya, maupun informasi dari komitmen
kelompok affiliasinya (Mastuhu, 2003).
Selanjutnya
Albert Einstein menyatakan bahwa Sains mengandung nilai-nilai intrinsik,
yaitu: nilai praktis, intelelktual, sosio-politik-ekonomi, pendidikan, dan
nilai religi. Nilai-nilai intrinsik Sains adalah nilai-nilai yang dimiliki
oleh Sains itu sendiri, dan bukan dampak dari Sains terhadap kehidupan manusia.
Berdasarkan pandangan ini, pembelajaran Sains pun tidak hanya memahami apa,
mengapa, dan bagaimana Sains itu, tetapi juga harus dapat menanamkan
nilai-nilai tersebut untuk pembelajaran manusia. Hal ini disebutkan dalam QS.
Al-Ankabut:43, yaitu:
”Dan Kami jadikan
amtsal-amtsal (perumpamaan) di dunia untuk pelajaran bagi manusia, tetapi
kebanyakan tidak memahaminya, kecuali dengan ilmu”.
Hal
ini ditegaskan oleh Nasr dalam bukunya ”Science and Civilization in Islam”
menyatakan bahwa:
“Sebagian
besar sejarawan alam Muslim berusaha mempelajari sejarah alam (Hukum Alam)
bukan hanya untuk memuaskan rasa keingintahuan mereka, tetapi dalam rangka
mengamati tanda-tanda Allah, Vestial Dei, sehingga mereka senantiasa dapat
mengambil pelajaran-pelajaran spiritual dan moral dari kajian mereka tentang
kerajaan alam…”.
Demikian
pula, salah satu pendapat JD.Bernal (1982) bahwa:”Sains sebagai suatu faktor
utama yang mempengaruhi kepercayaan dan sikap manusia terhadap alam semesta dan
manusia, dan bukan hanya sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang sistematis dan
logis, metode ilmiah, dan factor utama mengembangkan produksi.”
Pada
dasarnya integrasi Pendidikan Agama Islam (nilai religius) dengan sains dan
teknologi adalah upaya untuk memadukan antara Pendidikan Agama Islam dengan
sains dan teknologi dalam rangka
peningkatan kualitas pembelajaran Pendidikan Agama Islam dan hasil yang dicapai
oleh peserta didik. Dengan cara ini diharapkan pendidikan agama Islam tidak
sekedar sebagai wahana transfer pengetahuan keagamaan semata, tetapi juga
penanaman nilai-nilai keislamaan yang nantinya mampu diterapkan oleh peserta
didik dalam kehidupan bermasyarakat sebagai seorang muslim yang mampu berperan dalam
menyelesaikan problem umat maupun bangsa menghadapi perkembangan sains dan
teknologi yang begitu pesat dengan segala dampak yang ditimbulkan.
Menurut
(Mumtasyiri, 2012) Dalam pelaksanaannya integrasi Pendidikan Agama Islam dengan
sains dan teknologi menemui beberapa
permasalahan antara lain;
a) Kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) Umat Islam
Berbicara tentang sumber daya manusia, umat Islam
seharusnya dapat memberikan konstribusi yang besar linier sebanding dengan
jumlahnya. Akan tetapi, dengan kuantitas yang besar, ternyata belum sebanding
dengan kualitasnya. Masih banyak di antara umat Islam yang “Gaptek alias
Gagap Teknologi”. Demikian halnya di kalangan dunia pendidikan kita,
terutama di tingkat sekolah menengah ke bawah masih banyak guru yang hanya kaya
dalam hal pengetahuan agama, tetapi
miskin dalam pengetahuan umum. Selain
itu masih banyak juga siswa dan guru
yang belum menguasai teknologi terutama dalam penggunaan komputer dan internet.
b)
Keterbatasan sarana dan prasarana
serta sumber bacaan materi keagamaan terutama yang berkaitan dengan sains
Mengakibatkan pengelolaan cenderung seadanya.
Pendidikan agama yang diklaim sebagai aspek yang penting, seringkali kurang
diberi prioritas dalam urusan fasilitas. Tidak semua sekolah atau madrasah
mempunyai dana yang cukup untuk pengadaan sarana dan prasarana yang memadai.
Banyak materi pendidikan agama yang membutuhkan pengkajian dan pembuktian
secara ilmiah, namun karena tidak tersedianya tenaga ahli dan peralatan yang
memadai sampai sejauh ini materi-materi itu hanya disampaikan secara dogmatis.
Sebagai contoh tentang diharamkannya daging anjing
dan babi, perbedaan status najis untuk air kencing bayi laki-laki yang dihukumi
najis mukhaffafah, sedangkan air kencing bayi
perempuan dihukumi najis mutawasitah, juga terhadap air liur anjing yang
dikatagorikan najis mughalladzah yang cara pensuciannya harus dibasuh sampai
tujuh kali dan salah satunya harus diserta pasir atau debu, tentunya ada rahasia atau hikmah yang dapat diungkap di balik semua itu.
Selain itu buku sumber rujukan yang digunakan oleh guru dan siswa masih
membahas hal-hal yang berkaitan dengan materi agama semata belum banyak yang
menghubungkan kebenaran ajaran agama dengan kebenaran sains.
c)
Sistem dan metode pendidikan yang
diterapkan dalam proses kependidikan Islam masih belum seluruhnya
mengintegrasikan sains dan teknologi.
Bila dianalisis lebih jeli, selama ini khususnya
sistem pendidikan Islam seakan-akan masih terkotak-kotak antara urusan duniawi
dengan urusan ukhrowi. Ada pemisahan antara keduanya sehingga dari paradigma
yang salah itu, menyebabkan umat Islam belum mau ikut andil dan berpartisipasi
banyak dalam agenda-agenda yang tidak ada hubungannya dengan agama. Sebagai permisalan,
tentang sains sering kali umat Islam fobia dan merasa sains bukan urusan agama.
Jadi ada pemisahan antara urusan agama yang berorientasi akhirat dengan sains
yang dianggap hanya berorientasi dunia saja.
Pada sistem pendidikan kita yang telah berjalan terdapat dikotomi antara sains dan ilmu agama yang telah melahirkan dua jenis
manusia yang ekstrim ; sistem pendidikan agama yang melahirkan manusia yang
hanya berfikir kepada fikih, halal haram dan kurang memperdulikan kemajuan
pembangunan material, sementara sistem lainnya hanya melahirkan manusia yang
pandai membuat kemajuan dan pembangunan material tetapi makin jauh dari Allah. Nilai urgensi pengembangan studi
sains dan agama khususnya Islam di banyak Perguruan Tinggi sampai sekarang
masih terasa parsial dan terpotong-potong. Agama dan Islam sebagai paradigma
keilmuan masih ditempatkan sebagai “pelengkap” bahasan-bahasan sains yang
artifisial. Keberadaannya hanya tak lebih dari sekedar penjustifikasi
konsep-konsep sains dan belum menjadi
sebuah paradigma keilmuan yang holistic yang di dalamnya mensyaratkan elaborasi-elaborasi saintifik
sesuai konsep ilmu yang ada (Ahmad, 2010. http://blog.uin-malang.ac.id/ahmadbarizi/2010/06/26/panduan-riset-integrasi-sains-dan-islam/).
d)
Sejauh ini Pendidikan Agama Islam
yang diberikan kepada peserta didik dianggap belum mampu mengantisipasi
dampak-dampak negatif dari perkembangan sains dan teknologi
Seperti terjadinya krisis moral dan krisis social
yang kini makin menggejala dalam kehidupan masyarakat. Kemajuan dalam bidang
sains dan teknologi telah menimbulkan perubahan yang sangat cepat dalam
kehidupan manusia. Hampir tidak ada segi-segi kehidupan yang tidak tersentuh
oleh perubahan. Perubahan ini pada kenyataannya telah menimbulkan pergeseran
nilai-nilai dalam kehidupan umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai
agama, moral dan kemanusiaan. Seharusnya Pendidikan Agama Islam mampu berperan sebagai perisai dan filter bagi peserta didik
dalam menangkal dampak-dampak negatif
perkembangan sains dan teknologi pada masa sekarang ini. Namun kenyataannya
pendidikan Agama masih jauh dari yang diharapkan.
Menurut Rasdianah seperti dikutip oleh Muhaimin ada beberapa kelemahan
dari Pendidikan Agama Islam di sekolah, baik dalam pemahaman materi pendidikan
agama Islam maupun dalam pelaksanaannya, yaitu
a.
Dalam bidang teologi, ada kecenderungan mengarah
pada fatalistik
b.
Bidang akhlak yang berorientasi pada urusan sopan
santun dan belum dipahami sebagai keseluruhan pribadi manusia beragama
c.
Bidang ibadah diajarkan sebagai kegiatan rutin agama
dan kurang ditekankan sebagai proses pembentukan pribadi
d.
Dalam bidang hukum ( fiqih) cenderung dipelajari
sebagai tata aturan yang tidak akan berubah sepanjang masa, dan kurang memahami
dinamika dan jiwa hokum Islam
e.
Agama Islam cenderung diajarkan sebagai norma dan
kurang mengembangkan rasionalitas serta kecintaan pada kemajuan ilmu
pengetahuan
Orientasi mempelajari al-Qur’an
masih cenderung pada kemampuan membaca teks, belum mengarah pada pemahaman arti
dan penggalian makna (Muhaimin,
2011).
e)
Belum seluruhnya Guru Agama Islam
memiliki kompetensi menjadi guru agama
sebagai hasil (produk) lembaga pendidikan profesional keguruan.
Guru sebagai komponen utama dalam pendidikan
dituntut untuk mampu mengimbangi bahkan melampaui perkembangan sains dan
teknologi, menghasilkan peserta didik yang berkualitas, baik secara akademis,
skill (keahlian), kematangan emosional, moral serta spiritual. Oleh karena itu,
diperlukan seorang guru yang mempunyai kualifikasi, kompetensi personal-religius
dan kompetensi professional religious serta dedikasi yang tinggi dalam
menjalankan tugas profesionalnya . Keberadaan guru, apalagi guru Pendidikan
Agama Islam tidak bisa digantikan oleh sumber-sumber belajar yang lain.
Hal
ini karena guru Pendidikan Agama Islam tidak semata-mata berperan dalam
kegiatan transfer of knowledge saja, tetapi juga berperan dalam kegiatan
transfer of value. Namun kenyataannya, masih banyak guru Pendidikan
Agama Islam yang belum bisa menulis ayat-ayat Al-Qur’an dengan baik dan benar,
belum bisa membaca Al-Qur’an yang benar
dan baik sesuai dengan ilmu tajwid, tidak mampu menjawab masalah fiqih sederhana
yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, kurang menguasai sejarah Islam dan
seterusnya, (Muhaimin,2011:194) apalagi penguasaan materi lintas ilmu sains.
E.
Manfaat Integrasi Agama Dan Sains
Terhadap Teknologi Masa Kini
Pemikiran
tentang integrasi atau Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini yang dilakukan
oleh kalangan intelektual muslim, tidak lepas dari kesadaran beragama. Secara
totalitas ditengah ramainya dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dengan sebuah konsep bahwa ummat Islam akan maju
dapat menyusul menyamai orang-orang barat apabila mampu menstransformasikan dan
menyerap secara aktual terhadap ilmu pengetahuan dalam rangka memahami wahyu,
atau mampu memahami wahyu dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Disamping
itu terdapat asumsi bahwa ilmu pengetahuan yang berasal dari negara-negara
barat dianggap sebagai pengetahuan yang sekuler oleh karenanya ilmu tersebut
harus ditolak, atau minimal ilmu pengetahuan tersebut harus dimaknai dan
diterjemahkan dengan pemahaman secara Islami. Ilmu pengetahuan yang
sesungguhnya merupakan hasil dari pembacaan manusia terhadap ayat-ayat Allah
swt, kehilangan dimensi spiritualitasnya, maka berkembangkanlah ilmu atau sains
yang tidak punya kaitan sama sekali dengan agama. Tidaklah mengherankan jika
kemudian ilmu dan teknologi yang seharusnya memberi manfaat yang
sebanyak-banyaknya bagi kehidupan manusia ternyata berubah menjadi alat yang
digunakan untuk kepentingan sesaat yang justru menjadi “penyebab” terjadinya
malapetaka yang merugikan manusia.
Ilmu sains
tergolong dalam kumpulan sains terapan yang dikaitkan dengan teori dan
dasar untuk menciptakan suatu hasil atau sesuatu yang dapat member manfaat
kepada manusia. Jelasnya sains merupakan pemahaman ilmu tentang fenomena fisik
yang sesuai dengan perspektif Islam yang digunakan di dalam teknologi dengan
menggunakan kaidah yang paling efisien dan tepat di dalam mengkaji ilmu
pengetahuan.
Hal ini
sejalan dengan pendapatnya Said, (2005: 67) sains adalah produk manusia seperti
halnya musik, film, lukisan, bangunan dan lain sebagainya. Begitu mendengar
suara alunan musik, seseorang dapat langsung mengenali apakah ini tipe music
keconcong, pop, dangdut, jaz atau yang lainnya. Demikian pula melihat film,
lukisan, bangunan dan lain sebagainya, bisa kita identifikasi objek apa yang
kita lihat.
Menurut
Mahdi, (1989: 126) secara sederhana, sains dapat dikatakan sebagai produk
manusia dalam menyimak realitas. Terkait dengan pengertian ini, maka sains juga
tidak menjadi tunggal atau dengan kata lain akan ada lebih dari satu sains dan satu
dengan yang lain dibedakan pada apa makna relitas dan cara apa yang dapat
diterima untuk mengetahui realitas tersebut. Tujuan sains dalam perspektif
agama adalah untuk mengetahui watak sejati segala sesuatu sebagaimana yang
telah diberikan tuhan dan memperlihatkan kesatuan hukum alam, hubungan seluruh
bagian dan aspeknya sebagai refleksi dari kesatuan prinsip ilahiah.
Sebagaimana
firman Allah SWT dalam Al-qur’anul karim: Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda kekuasaan kami dari segenap penjuru dan pada diri mereka
sendiri sehingga jelaslah bahwa Al-qur’an itu benar…….. (QS
Fussilat 41:53).
Disegenap
penjuru itu artinya disemua bidang ilmu pengetahuan termasuk ilmu alam dan ilmu
eksakta dan masih banyak ayat-ayat al-qur’an yang mendorong manusia supaya
berfikir dan mengkaji serta memahami alam raya ini seperti:
“……maka
apakah kamu tidak menggunakan akal? “ (QS. Al-an’am 6 : 32)
“……maka
apakah mereka tidak memikirkannya?” (QS Yassin 36 : 68)
“……maka
apakah kamu tidak memperhatikannya?” (QS Al-Dhariyat 51: 21)
“Maka mereka
tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau sekitranya Al-Qur’an bukan dating dari
Allah SWT tentulah mereka menemukan pertentangan yang banyak didalamnya”. (QS
An-Nisa’ 4: 82)
Ditambah
pula dengan hadist yang terkenal dari rasulullah saw ;
“Belajar adalah suatu kewajiban atas setiap
muslim, lelaki atau perempuan” (HR Ibnu Majah)
“Tuntutlah
ilmu sampai ke negeri Cina” (HR Masyhut)
“Barang
siapa yang memudahkan jalan untuk mencari ilmu niscaya Allah akan memudahkan
jalannya ke Surga” (HR Muslim)
“barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu
ia berada di jalan Allah sehingga ia kembali” (HR At-Tirmidzi)
Berdasarkan
Al-qur’an dan sunnah di atas memaparkan bahwa peradaban Islam harus dibangun
mulai dari individu-individu yang sadar akan eksistensinya sebagai manusia yang
memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang alam semesta, manusia dan kehidupan
yang sumber rujukannya berdasarkan Al-qur’an dan sunnah kemudian didukung oleh
para intelektual muslim yang telah paham dengan peradaban Islam modern dan
tentunya Negara atau pemerintah harus berperan penting di dalamnya atau bahkan
harus memberikan hadiah (beasiswa) kepada para ilmuan yang telah berhasil
mendapatkan penemuan baru dibidangnya masing-masing seperti peran pemerintah
Unite State, Jerman, Rusia, China, Jepang dan Negara-negara maju lainnya dalam
mencetak para ilmuan yang menguasai bidangnya. Dan tentunya dalam membangun
peradaban islam modern di Indonesia, kita memiliki kelebihan tersendiri
dibandingkan negara nonmuslim lainnya karena kita sebagai umat muslim
pernah memimpin dunia, bahkan konon kota Bagdad dikenal dengan kota
1001 malam betapa indahnya Bagdad pada saat itu sehingga barat belajar di
dunia muslim.
Menurut
Nata, dkk (2005: 53) menyatakan bahwa ilmu-ilmu itu hakekatnya berasal dari
Allah, karena sumber-sumber ilmu tersebut berupa wahyu, alam jagat raya
(termasuk hukum-hukum di dalamnya), manusia dengan perilakunya, akal pikiran
dan intuisi batin seluruhnya ciptaan dan anugerah Allah yang diberikan kepada
manusia. Dengan demikian, para ilmuan dalam berbagai bidang ilmu tersebut bukan
pencitpa ilmu tapi penemu ilmu, penciptanya adalah Tuhan. Manusia hanya
melakukan percobaan dari apa yang ada pada rasa ingin tahu manusia.
(Nata,
2005)
Skema ilmu berasal dari Allah SWT
Menurut
skema di atas, menyatakan bahwa segala ilmu yang ada di dunia ini merupakan
ciptaan dari Allah. Baik ilmu agama maupun ilmu umum yang berasal dari Al-quran
dan Sunnah berasal dari Allah SWT. Di ciptakannya ilmu tersebut tidak lain
hanya untuk kemaslahatan umat manusia agar manusia dapat hidup sejahtera dalam
menjalankan segala aktivitasnya untuk beribadah.
Dari
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam kajian keilmuan pembagian adanya
ilmu agama dengan sains adalah kesimpulan manusia yang
mengidentifikasikan ilmu berdasarkan objek kajian akan tetapi semua ilmu
itu berasal dari Tuhan pencipta semesta Alam. Begitu pula dengan sains
dan teknologi tidak pernah bertentangan dengan ajaran islam. Itu sebabnya
ilmuan muslim pada saat itu menggali inspirasinya berdasarkan Al-qur’an dan
sunnah Rasul saw.
Perkembangan
sains menyebabkan umat islam lebih memahami dan meyakini akan keagungan Allah
swt karena semakin banyak kita menemukan pengetahuan baru maka semakin kita
merasa bahwa ilmu yang kita miliki masih sedikit dibandingan dengan ilmu Allah
sehingga bertambahlah keyakinan kita akan keagungan Allah tuhan semesta alam.
Sementara jika teknologi yang mementingkan kehidupan materelistik dan keduniaan
semata tanpa dilandasi dengan keimanan kepada Allah swt sebenarnya tidak akan
memberikan manfaat kepada manusia, malahan akan menimbulkan mudharat dan
kebinasaan bagi manusia itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa:
1.
Sains adalah Ilmu pengetahuan di
pakai sebagai kata kolektif untuk menunjukan bermacam-macam pengetahuan dan
sistematik dan objektif serta dapat di teliti kebenarannya, dapat digambarkan
bahwa pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil proses
dari usaha manusia, Beranjak
dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah pengetahuan, maka
di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan
kebenaran.
2.
Bagi kalangan Kristen
kontemporer, pendekatan “integrasi” dipopulerkan oleh Ian G. Barbour,
yang menyebut salah satu dari empat tipologi hubungan sains-agama dengan “integrasi”.
Teolog-cum-fisikawan Kristen ini dianggap sebagai salah seorang peletak dasar
wacana agama dan sains yang berkembang di Barat, tetapi pengaruhnya telah
menyebar berkat penerjemahan buku-bukunya, termasuk di Indonesia. berbagai prestasi
temuan di bidang iptek tingkat dunia, khususnya sejak abad renaissance, hampir
semuanya didominasi oleh para ilmuwan Barat.
3. Dipilihnya
pendekatan JAS sebagai pendekatan pembelajaran yang dianggap mampu menciptakan
siswa yang produktif dan inovatif adalah, Suatu
pendekatan pembelajaran yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta,
tetapi dapat mendorong siswa mengkonstruksikan fakta-fakta pengetahuan yang dia
peroleh berdasarkan konsep atau prinsip Biologi melalui proses eksplorasi dan
investigasi, Pendekatan pembelajaran JAS
mengutamakan siswa belajar dari mengalami dan menemukan sendiri dengan
memanfaatkan lingkungan fisik, sosial dan budaya yang ada disekitarnya.
4.
Dalam pelaksanaannya integrasi
pendidikan agama islam dengan sains dan teknologi menemui beberapa permasalahan
antara lain; kualitas sumber daya manusia (sdm) umat islam, keterbatasan sarana dan prasarana serta sumber bacaan
materi keagamaan terutama yang berkaitan dengan sains, sistem dan metode pendidikan yang diterapkan dalam
proses kependidikan Islam masih belum seluruhnya mengintegrasikan sains dan
teknologi, sejauh ini Pendidikan Agama
Islam yang diberikan kepada peserta didik dianggap belum mampu mengantisipasi
dampak-dampak negatif dari perkembangan sains dan teknologi, dan belum seluruhnya Guru Agama Islam memiliki kompetensi
menjadi guru agama sebagai hasil
(produk) lembaga pendidikan profesional keguruan.
5.
Perkembangan
sains menyebabkan umat islam lebih memahami dan meyakini akan keagungan Allah
swt karena semakin banyak kita menemukan pengetahuan baru maka semakin kita
merasa bahwa ilmu yang kita miliki masih sedikit dibandingan dengan ilmu Allah
sehingga bertambahlah keyakinan kita akan keagungan Allah tuhan semesta alam.