SMP NEGERI 1 JAMBLANG |
Jumat, 16 Maret 2018
Jumat, 06 Desember 2013
Asessmen Berpikir Kritis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berpikir merupakan ciptaan dalam bentuk akal yang
diciptakan oleh tuhan yang maha kuasa. Berpikir merupakan kata kerja dalam
kamus Bahasa Indonesia, berawal dari kata pikir yang berarti apa yang
ada dalam hati, akal budi, ingatan, angan-angan, kata dalam hati, pendapat,
pertimbangan. Sedangkan, menurut kata kerjanya berpikir itu
adalah menggunakan akal budi untuk menemukan jalan keluar,
mempertimbangkan atau memutuskan sesuatu.
Salah satu macam berpikir yag tidak semua orang
bisa melakukannya adalah berpikir kritis, sebab berpikir kritis hanya
diperuntukan untuk orang yang mempunyai daya nalar yang tinggi dan mempunyai
rasionalitas logika yang tinggi pula. Orang – orang yang berpikir kritis
berbeda dengan orang – orang yang berpikir protes walaupun ada kesamaan arti
yaitu sama-sama bentuk penolakan dari sesuatu atau seseorang.
Pikiran yang digunakan dalam penalaran dan
diungkapkan lewat bahasa juga memiliki materi dan bentuk. Contohnya, kalau kita
mengatakan bundar, materinya adalah isi dan arti kata itu sendiri, sedangkan
bentuknya adalah positif. Akan tetapi, jika kita mengatakan tidak bundar,
bentuknya adalah negati.
Berpikir secara kritis berarti berpikir secara luas
dan terbuka dengan mempertimbangkan kemungkinan – kemungkinan hingga
mendapatkan suatu fakta dan informasi yang dapat diterima atau ditolak. Seseorang
yang berpikir kritis akan mampu menyelesaikan masalah dengan sistemasi
pemikiran yang abstrak lalu menyusunnya dalam metode penyelesaian yang efektif.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana hakikat berpikir?
2.
Bagaimana hakikat berpikir kritis?
3.
Bagaimana hakikat berpikir kritis menurut Norris-Ennis?
4.
Apa saja indikator penilaian kemampuan berpikir kritis menurut Robert H.
Ennis?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui hakikat berpikir.
2.
Untuk mengetahui hakikat berpikir kritis
3.
Untuk memahami hakikat berpikir kritis menurut Norris-Ennis
4.
Untuk mengetahui indikator penilaian
kemampuan berpikir kritis menurut Robert H. Ennis
BAB II
ASESMEN PENALARAN KERANGKA KERJA NORRIS-ENNIS
A.
Kemampuan Berpikir Kritis
1.
Hakikat Berpikir
Istilah asesmen (assessment) dalam Stiggin
(1994) sebagai penilaian proses, kemajuan, dan hasil belajar siswa (outcomes).
Sementara itu asesmen diartikan oleh Kumano (2001) sebagai ”The process of
collecting data which is shows the develompment of learning”. Dengan
demikian dapat disimpukan bahwa asesmen merupakan istilah yang tepat untuk
penilaian proses belajar siswa. Namun, meskipun proses belajar siswa merupakan
hal yang penting yang dinilai dalam asesmen, faktor hasil belajar juga tidak
dapat dikesampingkan.
Asesmen juga merupakan kegiatan pengumpulan bukti
yang dilakukan secara sengaja, sistematis, dan berkelanjutan serta
digunakan untuk menilai kompetensi siswa. Penalaran adalah proses
kemampuan berpikir seseorang untuk mendapatkan suatu pengetahuan baru dengan
cara melogikakan konsep-konsep yang diketahuinya berdasarkan bukti-bukti yang
ada dan mengkontradiksikannya dengan pengetahuan yang sebelumnya. Penalaran
juga merupakan semua hubungan antara pengalaman dan pengetahuan yang digunakan
seseorang untuk menjelaskan apa yang dilihat, dipikirkan dan disimpulkan.
Penalaran berasal dari kemampuan berpikir seseorang.
Jadi asesmen penalaran adalah kegiatan
pengumpulan bukti yang dilakukan secara sengaja untuk membuat hubungan antara
pengalaman dan pengetahuan agar dapat menjelaskan apa yang dilihat, dipikirkan
dan disimpulkan.
Norris dan Ennis (dalam Stiggin, 1989:1994)
mengungkapkan satu set tahap-tahap yang termasuk proses berpikir kritis:
1. Mengklarifikasi isu dengan mengajukan pertanyaan
kritis
2. Mengumpulkan informasi tentang isu
3. Mulai bernalar melalui berbagai sisi atau sudut
pandang yang berbeda-beda
4. Mengumpulkan informasi dan melakukan analisis lebih
lanjut, jika diperlukan
5. Membuat dan mengkomunikasikan keputusan
Disamping mengembangkan berpikir kritis yang berkaitan dengan domain
kognitif, Norris dan Ennis juga mengembangkan disposisi yang merupakan “jiwa
kritis”. Berikut akan diuraikan tentang kemampuan dan disposisi kritis dari
Norris dan Ennis.
Norris dan Ennis (dalam Stiggins, 1994) menyatakan
berpikir kritis merupakan berpikir masuk akal dan reflektif yang difokuskan
pada pengambilan keputusan tentang apa yang dilakukan atau diyakini. Masuk akal
berarti berpikir didasarkan atas fakta-fakta untuk menghasilkan keputusan yang
terbaik, reflektif artinya mencari dengan sadar dan tegas kemungkinan solusi
yang terbaik. Dengan demikian berpikir kritis, menurut Norris dan Ennis adalah
berpikir yang terarah pada tujuan. Tujuan dari berpikir kritis adalah
mengevaluasi tindakan atau keyakinan yang terbaik. Norris dan Ennis memfokuskan
kerangkanya pada proses berpikir yang melibatkan pengumpulan informasi dan
penerapan kriteria untuk mempertimbangkan serangkaian tindakan atau pandangan
yang berbeda. Ini bersesuaian dengan tingkat berpikir evaluasi pada taksonomi
Bloom.
Jiwa kritis menurut Norris dan Ennis meliputi:
kebutuhan untuk berpikir logis, berusaha keras untuk memiliki pengetahuan luas
dari sumber-sumber yang kredibel, berwawasan atau berpandangan luas, dan
memperoleh kesenangan pribadi dalam hubungannya dengan cara pemecahan
masalah-masalah yang komplek. Namun, Norris dan Ennis berpendapat bahwa
alat-alat intelektual dapat menjadi tidak berguna, jika tidak ada tanggung
jawab untuk menggunakannya.
Kerangka kerja Norris dan Ennis mengungkapkan bahwa
penalaran kompleks memerlukan penggunaan terintegrasi dari sejumlah proses
berpikir. Karena kompleksitasnya, kerangka kerja Norris dan Ennis ini tidak
cocok dengan asesmen respon terbatas. Di lain pihak, kita dapat menggunakan
asesmen essay untuk memperoleh informasi tentang penalaran dan pemahaman yang
komplek. Di samping itu kita dapat menggunakan asesmen essay sebagai alat untuk
menguraikan proses penalaran siswa.
Asesmen kinerja sangat baik digunakan untuk menilai
penalaran. Kita dapat menggunakan suatu isu kepada siswa baik individu maupun
kelompok dan kemudian menilai keterampilan berpikir kritisnya. Di samping
dengan asesmen kinerja, kita juga dapat menyelidiki penalaran siswa melalui
komunikasi personal dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan strategis. Atau kita
dapat mengikutsertakan siswa untuk merancang kriteria penskoran essay, kriteria
penskoran asesmen kinerja, atau suatu daftar tentang tahap-tahap penting dalam
proses berpikir Norris dan Ennis. Dengan cara seperti itu guru setidaknya dapat
menilai respon siswa dan bagaimana penalaran masing-masing siswa. Karena mereka
menginternalisasi visi dan merefleksikan pekerjaannya sendiri, mereka akan
menjadi pemikir yang kritis.
Sebagaimana pandangan Norris dan Ennis, kerangka
kerja konseptual yang ditawarkan oleh Marzano (1992) mencakup komponen kognitif
dan afektif. Dimensi kognitif (dari susunan Marzano yang relatif komplek)
menguraikan tentang proses penalaran yang disajikan dalam tabel 2 dengan label,
definisi dan contoh. Dimensi afektif menyatakan bahwa siswa harus mengembangkan
dan mempertahankan sikap dan persepsi positif mengenai pembelajaran dan
pemahaman tanggung jawab personal untuk berpikir yang bijak. Bila dimensi
afektif ini tidak dimiliki, maka sepertinya keterampilan yang mereka miliki
jadi sia-sia.
Keunggulan kerangka kerja ini adalah bahwa setiap
jenis berpikir yang dispesifikasikan diterjemahkan secara natural kedalam
pertanyaan yang tampaknya dapat diterapkan pada semua area materi. Lebih
jauh, setiap pertanyaan tampaknya unik dan relevan dengan dunia nyata. Sebagai
bahan pertimbangan kita dapat menggunakan contoh pertanyaan yang ada pada tabel
sebagai model, kemudian memilih area konten dan menempatkan serangkaian
pertanyaan yang mungkin digunakan untuk memeriksa pemahaman siswa pada area
tersebut.
Berpikir secara umum diartikan sebagai suatu proses kognitif yang tidak dapat di lihat secara fisik, merupakan suatu tindakan mental dalam usaha memperoleh pengetahuan (Presseisen, 1985 dalam Costa ed., 1985: 43)
Nickerson, Perkins, dan Smith (1985: 48), menyatakan bahwa di satu sisi berpikir itu sangat penting untuk memperoleh pengetahuan dan di sisi lain pengetahuan itu sangat penting untuk proses berpikir. Sementara, Costa (1985 dalam Costa ed. 1985: 62) menyatakan bahwa berpikir adalah menerima stimulus eksternal melalui indera dan diproses secara internal. Berpikir juga bisa dikatakan suatu hal yang alamiah
(fitrah atau natural) bagi setiap manusia
dikarenakan adanya unsur-unsur ciptaan yang telah diciptakan oleh Allah SWT.
Dalam proses berpikir dilibatkan berbagai unsur, yakni otak yang sehat, panca indra, informasi sebelumnya, dan adanya fakta. Dari keempat unsur di atas dapat dirangkai sebuah definisi berpikir, yaitu pemindahan penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak yang disertai adanya informasi-informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut (Hatta, 2007:1).
Menurut Piaget (Dahar, 1996: 152), setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual sebagai berikut:
a)
Tingkat sensori-motor (0-2tahun), selama periode ini anak mengatur alamnya dengan indera-inderanya (sensori) dan tindakan-tindakannya (motor);
b)
Tingkat pra operasional (2-7tahun), periode ini disebut pra operasional karena pada tahap ini anak belum mampu melaksanakan operasi-operasi mental seperti operasi matematis yang reversibel. Selain itu, anak pada tingkat pra operasional bersifat egosentris;
c)
Tingkat operasional konkret (7-11 tahun), pada tingkat ini anak memiliki operasi-operasi logis yang dapat diterapkan pada masalah-masalah konkret dan anak belum dapat berurusan dengan materi abstrak, seperti hipotesis dan proposisiverbal;
d) Tingkat operasional formal (11 tahun ke atas), pada periode ini anak telah mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak. Flavell (1936 dalam Dahar, 1996: 155) mengemukakan beberapa karakteristik berpikir operasional formal, yaitu berpikir hipotesis-deduktif, berpikir proposisional dan berpikir kombinatorial.
Berkaitan dengan proses berpikir, Swartz dan Perkins (1992 dalam Hassoubah, 2008: 21), mengemukakan bahwa manusia cenderung mengalami empat kecenderungan berpikir yang tidak efektif atau salah. Keempat kecenderungan berpikir yang salah tersebut adalah:
a)
Tergesa-gesa, yaitu terlalu cepat membuat keputusan tanpa mempertimbangkan ide atau alternatif lain;
b) Acak-acakan, yaitu kecenderungan untuk tidak teratur dalam berpikir, melompat dari satu gagasan ke gagasan lainnya tanpa menganalisis secara mendalam salah satu dari gagasan tersebut
c) Tidak fokus, yaitu samar-samar dalam pemikiran serta tidak jelas dalam memberikan pendapat
d) Sempit, yaitu kecenderungan berpikir tidak mendalam, sehingga mengabaikan informasi penting lain yang mungkin ada.
Sebenarnya setiap orang memiliki tingkat kemampuan berpikir yang seringkali seseorang itu tidak menyadarinya. Ketika mulai menggunakan tingkat kemampuan berpikir tersebut, fakta-fakta yang sampai sekarang tidak diketahuinya, lambat laun akan terungkap. Semakin dalam seseorang berpikir, maka semakin bertambah kemampuan berpikirnya dan hal ini mungkin sekali berlaku bagi setiap orang. Karena itu, perlu disadari bahwa setiap orang mempunyai kebutuhan untuk berpikir serta menggunakan akalnya semaksimal mungkin (Yahya, 2003: 4).
2.
Berpikir Kritis
Menurut Presseisen (1985 dalam Costa ed., 1985: 44), keterampilan berpikir dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu: keterampilan berpikir dasar dan keterampilan berpikir kompleks atau keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Proses berpikir dasar merupakan gambaran dari proses berpikir rasional yang mengandung sekumpulan proses mental dari yang sederhana menuju yang kompleks (Novak, 1979 dalam Liliasari, 2001:13).
Aktivitas berpikir yang terdapat dalam proses berpikir rasional yaitu menghapal, membayangkan, mengelompokkan, menggeneralisasikan, membandingkan, mengevaluasi, menganalisis, mensintesis, mendeduksi dan menyimpulkan. Dalam hal ini dasar proses berpikir adalah menemukan hubungan, menghubungkan sebab-akibat, mentransformasi, mengelompokkan dan memberikan kualifikasi (Liliasari, 2001: 13).
Sedangkan proses berpikir kompleks atau berpikir tingkat tinggi dapat dikategorikan ke dalam empat kelompok, yaitu pemecahan masalah, pengambilan keputusan, berpikir kritis, dan berpikir kreatif (Presseisen, 1985 dalam Costa ed., 1985: 45).
Salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) adalah berpikir kritis. Berpikir kritis menggunakan dasar proses berpikir untuk menganalisis argumen dan memunculkan pengetahuan terhadap setiap makna dan interpretasi, mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis, memahami asumsi dan bias, serta memberikan model penyampaian yang dapat dipercaya, ringkas, dan meyakinkan (Presseisen, 1985 dalam Costa ed., 1985: 45).
Banyak definisi berpikir kritis yang dikemukakan oleh para ahli. Seperti yang dikemukakan oleh Dewey (1909 dalam Fisher 2009: 2), bahwa berpikir kritis didefinisikan sebagai pertimbangan yang aktif, terus-menerus, dan teliti mengenai suatu keyakinan atau asumsi. Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa keyakinan atau asumsi berdasarkan bukti pendukung dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang ditimbulkannya (Fisher, 2009: 3). Selain itu, berpikir kritis merupakan suatu proses untuk mencari makna, bukan sekedar perolehan pengetahuan (Barell, 1985 dalam Costa ed., 1985: 35). Sementara, Swart dan Perkins (1990 dalam Hassoubah, 2008: 86), menyatakan bahwa berpikir kritis bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan diterima atau dilakukan dengan alasan yang logis. Definisi lainnya dikemukakan oleh Glaser (1941 dalam Fisher, 2009: 3), mendefinisikan berpikir kritis sebagai:
a) suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang berada pada jangkauan pengalaman seseorang
b) pengetahuan tentang metode-metode penilaian dan penalaran yang logis; dan
c) keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Menurut Beyer (Potts, 1994: 1),
meskipun terdapat beragam definisi mengenai berpikir kritis, namun hampir semua menekankan pada kemampuan dan kecenderungan untuk mengumpulkan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara efektif. Salah satu kontributor terkenal bagi pengembangan budaya berpikir kritis adalah Robert H. Ennis. Ennis (1985 dalam Costa ed., 1985: 54) menyatakan bahwa berpikir kritis adalah berpikir reflektif yang masuk akal yang berfokus untuk memutuskan apa yang harus diyakini atau dilakukan. Menurut Ennis (1995: 365), terdapat enam unsur dasar dalam berpiki kritis yang disingkat menjadi FRISCO, yaitu:
a)
F (Focus), yaitu memfokuskan pertanyaan atau isu yang tersedia untuk membuat sebuah keputusan tentang apa yang diyakini.
b)
R (Reason), yaitu mengetahui alasan-alasan yang mendukung atau melawan utusan-putusan yang dibuat berdasarkan situasi dan fakta yang relevan
c)
I (Inference), yaitu membuat kesimpulan yang beralasan atau menyungguhkan. Bagian penting dari langkah penyimpulan ini adalah mengidentifikasi asumsi dan mencari pemecahan, pertimbangan dari interpretasi akan situasi dan bukti.
d) S (Situation), yaitu memahami situasi dan selalu menjaga situasi dalam berpikir akan membantu memperjelas pertanyaan da mengetahui arti istilah-istilah kunci, bagian-bagian yang relevan sebagai pendukung.
e)
C (Clarity), yaitu menjelaskan arti atau istilah-istilah yang digunakan.
f)
O (Overview), yaitu meninjau kembali dan meneliti secara menyeluruh keputusan yang diambil.
B. Indikator Berpikir Kritis
Ennis (1985 dalam Costa ed., 1985: 54-57) mengungkapkan kemampuan berpikir kritis yang dikelompokkan ke dalam lima indikator kemampuan, yaitu:
a) memberikan penjelasan sederhana;
b) membangun keterampilan dasar;
c) menyimpulkan;
d) memberikan penjelasan lebih lanjut; dan
e) mengatur strategi dan taktik. Penjelasa mengenai kelima indikator kemampuan berpikir kritis tersebut selengkapnya disajikan dalam Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1 Kemampuan Berpikir Kritis menurut Robert H.
Ennis
Indikator
Berpikir Kritis
|
Sub-indikator
Berpikir Kritis
|
Penjelasan
|
Elementary
clarification
(memberikan
penjelasan
sederhana)
|
1.
Memfokuskan pertanyaan.
|
a. Mengidentifikasi dan merumuskan
Pertanyaan.
b. Mengidentifikasi dan merumuskan kriteria-kriteria untuk mempertimbangkan jawaban yang mungkin.
c. Memelihara situasi dalam pikiran.
|
2.
Menganalisis argumen.
|
a. Mengidentifikasi kesimpulan.
b. Mengidentifikasi alasan (sebab) yang dinyatakan (eksplisit).
c. Mengidentifikasi alasan (sebab) yang tidak dinyatakan (implisit).
d. Mencari persamaan dan perbedaan.
e. Mengidentifikasi dan menangani ketidakrelevanan.
f. Mencari struktur dari suatu argumen
g. Membuat ringkasan.
|
|
3.
Bertanya dan menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau tantangan.
|
a. Mengapa demikian?
b. Apa inti utamanya?
c. Apa yang Anda maksudkan?
d. Mana yang merupakan contoh?
e. Mana yang yang bukan contoh?
f. Bagaimana menerapkannya dalam kasus tersebut?
g. Perbedaan apa yang menyebabkannya?
h. Apa faktanya?
i. Inikah yang Anda katakan?
j. Akankah Anda menyatakan lebih dari itu?
|
|
Basic support
(membangun
keterampilan
dasar)
|
4.
Mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber.
|
a. Ahli.
b. Kelemahan dari permasalahan yang
bersangkutan.
c. Kesepakatan antar sumber.
d. Reputasi.
e. Menggunakan prosedur yang telah
diakui.
f. Mengetahui resiko berdasarkanreputasi.
g. Kemampuan memberikan alasa n.
h. Kebiasaan hati-hati.
|
5.
Mengobservasi dan mempertimbangkan hasil observasi.
|
a. Sedikit mengambil kesimpulan
yang berbelit-belit.
b. Interval waktu singkat antara
observasi dan pembuatan laporan.
c. Laporan yang dibuat oleh observer,
lebih baik dari yang dibuat orang
lain.
d. Merekam gambaran secara umum,
|
|
Inference
(membuat
inferensi)
|
6.
Membuat deduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi.
|
a. Kelompok yang logis.
b. Kondisi yang logis.
c. Interpretasi pernyataan.
|
7.
Membuat induksi dan mempertimbangkan hasil induksi.
|
a. Membuat generalisasi: kekhususan
data, pengambilan contoh, tabel
dan grafik.
b. Membuat penjelasan dari suatu
kesimpulan dan hipotesis.
c. Menyelidiki, yaitu merancang
eksperimen termasuk merencanakan dalam
mengendalikan variabel, mencari
bukti di luar bukti yang telah ada,
mencari penjelasan lain yang
mungkin.
d. Memberikan kriteria yang layak
dalam membuat asumsi.
jika laporan disertai rekaman,
umumnya lebih baik.
e. Bukti-bukti yang menguatkan.
f. Kemungkinan dari kuat tidaknya
bukti-bukti tersebut.
g. Kondisi akses yang baik.
h. Penggunaan teknologi yang
kompeten.
i. Kepuasan observer atas kredibilitas
kriteria.
|
|
8.
Membuat keputusan dan mempertimbangkan hasilnya.
|
a. Latar belakang fakta.
b. Konsekuensi.
c. Penerapan yang utama terhadap
prinsip-prinsip yang dapat
diterima.
d. Mempertimbangkan berbagai
alternatif.
e. Menyesuaikan, menimbang dan
memutuskan.
|
|
Advance
clarification
(memberikan
penjelasan lebih
lanjut)
|
9.
Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi.
|
a. Bentuk: sinonim, klasifikasi,
rentang, ungkapan yang setara,
operasional, contoh dan non
contoh.
b. Strategi definisi (tindakan,
mengidentifikasi persamaan)
c. Isi.
|
10. Mengidentifikasi asumsi.
|
a. Penalaran secara implisit.
b. Diperlukan asumsi: merekonstruksi
argumen.
|
|
Strategy and
tactics
(mengatur
strategi dan
taktik)
|
11. Memutuskan suatu tindakan.
|
a. Mendefinisikan masalah.
b. Menyeleksi kriteria untuk membuat
solusi.
c. Merumuskan alternatif solusi.
d. Memutuskan hal-hal yang akan
dilakukan secara tentatif.
e. Melakukan tinjauan ulang.
f. Memonitor implementasi.
|
12. Berinteraksi dengan orang lain.
|
a. Bereaksi terhadap label yang
keliru.
b. Strategi logis.
c. Strategi retoris.
d. Menyampaikan secara lisan atau
tertulis.
|
Sumber: Ennis (1985 dalam Costa ed., 985: 54-57)
Menurut Priyadi (2005: 1), berpikir kritis adalah proses mental untuk menganalisis atau mengevaluasi informasi. Informasi yang dianalisis dapat berupa suatu argumen. Berkaitan dengan sub-indikator kemampuan berpikir kritis menganalisis argumen, Bruneu (1987 dalam Hassoubah, 2008: 30) menjelaskan bahwa terdapat pola pikir yang salah yang seringkali dilakukan seseorang dalam menganalisis argumen, diantaranya:
a) Argumentasi yang diberikan tidak berhubungan dengan kesimpulan;
b) Berbeda argumen dari orang lain hanya berdasarkan bukti tertentu saja;
c) Loyalitas buta, yaitu seseorang yang kukuh dengan argumentasinya tanpa peduli dengan banyaknya bukti yang berlawanan;
d) Menyetujui atau menerima argumen begitu saja tanpa bukti atau tanpa perlu bersusah payah membuktikan kebenaran argumen tersebut.
Berkaitan dengan sub-indikator berpikir kritis mempertimbangkan kredibilitas suatu sumber, untuk dapat menilai kredibilitas secara kritis dapat dilakukan dengan cara menilai:
a) Keahlian yang relevan (seperti pengalaman atau kualifikasi formal) yang dimiliki sumber;
b) Reputasi sumber yang menyataka bahwa sumber tersebut dapat dipercaya;
c) Kelogisan pendapat sumber;
d) Sumber utama atau sumber sekunder yang mendasari pendapat sumber; dan
e) Bukti yang menguatkan dari sumber lain (Fisher, 2009:103).
Salah satu indikator kemampuan berpikir kritis adalah inference (membuat inferensi/ kesimpulan). Penarikan kesimpulan dapat dilakukan dengan melakukan penalaran secara deduktif maupun induktif. Menurut Suriasumantri (2001: 49), penalaran deduktif adalah kegiatan berpikir dari pernyataan yang bersifat umum ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus Ausubel (Dahar, 1996: 119), berpendapat bahwa pengembangan konsep berlangsung paling baik apabila unsur- unsur yang paling umum diperkenalkan lebih dulu, baru kemudian diberikan hal-hal yang lebih mendetail dan khusus dari konsep tersebut. Sedangkan penalaran induktif merupakan cara berpikir dengan menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat khusus, dari contoh-contoh menuju kesimpulan umum (Suriasumantri, 2001: 48). Seseorang dapat berpikir induktif dengan mencari ciri-ciri atau sifat-sifat dari berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan pada semua jenis fenomena tadi (Purwanto, 1997:102).
Menurut Mulyana (2005: 11), kebaikan dari pola penalaran induktif dalam pembelajaran adalah siswa mempunyai kesempatan aktif di dalam menemukan sebuah kesimpulan sehingga siswa terlibat dalam mengobservasi, berpikir dan bereksperimen Sedangkan kelemahan dari pola penalaran induktif dalam pembelajaran adalah proses penarikan kesimpulan yang banyak memakan waktu.
Mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi merupakan salah satu sub indikator kemampuan berpikir kritis. Menurut Fisher (2009: 67)
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan seseorang dalam menjelaskan definisi istilah atau gagasan, diantaranya:
Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan seseorang dalam menjelaskan definisi istilah atau gagasan, diantaranya:
(a)
memberikan ungkapan yang bersinonim (parafrase)
(b)
mengemukakan contoh-contoh yang jelas;
(c)
memberikan noncontoh atau hal- hal yang kontras dari istilah tersebut; dan
(d)
menjelaskan sejarah sebuah istilah atau ungkapan.
Sub-indikator kemampuan berpikir kritis ke-10 adalah mengidentifikasi asumsi. Asumsi adalah keyakinan yang secara jelas diterima atau dianggap benar oleh seseorang tetapi biasanya tidak dinyatakan (Fisher, 2009: 46). Menurut Johnson (2007: 196)
suatu asumsi baru bisa diterima apabila jelas, logis, dan didasarkan pada pengalaman yang luas.
Salah satu tujuan dari berpikir kritis adalah untuk membuat keputusan mengenai sesuatu. Fisher (2009: 153), mengemukakan beberapa kelemahan umum ketika seseorang memutuskan suatu keputusan, diantaranya:
a) kurangcukup waktu berpikir mengenai keputusan yang diambil;
b) tidak berpikir tentang alternatif-alternatif lain;
c) tidak mempertimbangkan akibat-akibat dari beragam keputusan;
d) terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan;
e) terlalu melibatkan emosi; dan
f) menerima apa yang direkomendasikan orang lain tanpa mempertimbangkannya.
Selain itu, pengambilan keputusan membutuhkan ketelitian yang logis, konsisten, tolok ukur lain dan kemampuan untuk melihat adanya kekeliruan dalam logika suatu pernyataan (Subiyanto, 1988: 50).
Menurut Hassoubah (2008: 88), latar belakang kepribadian dan budaya seseorang dapat mempengaruhi usaha seseorang untuk berpikir secara kritis terhadap suatu masalah. Selain itu,berpikir kritis juga dipengaruhi oleh kondisi emosi Proses berpiki kritis dapat dihambat oleh beberapa faktor. Halpern (1989dalam Hassoubah, 2008: 27) mengungkapkan bahwa terdapat kecenderungan bias psikologis yang dapat menghambat proses berpikir kritis, diantaranya:
a)
Bias konfirmasi, yaitu kecenderungan untuk mencari informasi hanya yang sesuai dengan ide yang dimiliki;
b)
Bias kebiasaan, yaitu kecenderungan untuk mengambil suatu keputusa berdasarkan kebiasaan;
c)
Reaksi psikologis, yaitu keadaan emosi ketika memilih alternatif terbaik tidak berdasarkan kriteria rasional dan
d)
Resiprositas/ pertukaran, yaitu pengambilan keputusan dengan dasar perasaan subjektif, bukan secara objektif.
Seorang yang berpikir kritis bisa menanyakan pertanyaan yang tepat, mengumpulkan informasi yang relevan, efisien dan kreatif dalam memilah informasi, menemukan alasan logis dari suatu informasi, dan memperoleh kesimpulan yang dapat dipercaya dipertanggungjawabkan sehingga memungkinkan seseorang untuk menjadi lebih baik dan sukses dalam kehidupan (Schafersman, 1991: 1). Selain itu, Chiras (1992: 464) menjelaskan bahwa siswa perlu dibekali dengan kemampuan berpikir kritis karena membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis, berarti memberikan siswa keterampilan yang dapat digunakan untuk menganalisis dan memecahkan sejumlah besar masalah yang akan mereka hadapi dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Mengacu pada betapa penting peran berpikir kritis bagi kehidupan, maka didalam pendidikan guru hendaknya dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa. Menurut Beyer (1985 dalam Costa ed., 1985: 145), ada dua langkah yang harus dilakukan guru dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa, yaitu :
a) Guru terlebih dahulu
menentukan tujuan yang jelas, kegiatan dan pengetahuan yang menunjang berpikir kritis;
b)
Guru juga harus merencanakan pembelajaran yang sistematis dan melibatkan keterampilan- keterampilan untuk melatih berpikir kritis selama pembelajaran. Selain itu, guru dapat memilih strategi yang tepat dalam pembelajaran untuk melatih kemampuan berpikir kritis siswa, diantaranya menciptakan interaksi antar siswa dan memberikan pertanyaan terbuka pada siswa (Potts, 1994: 1).
Hal ini senada dengan pendapat Rustaman et al. (2003: 125), yang menyatakan bahwa dengan menggunakan pertanyaan yang efektif berarti mendorong siswa untuk berpikir dan bernalar, sehingga belajar berpusat pada diri siswa. Begitu pula dengan pendapat Nasution (2000: 161) bahwa bertanya merupakan stimulus yang mendorong anak untuk berpikir dan belajar, dengan bertanya, siswa akan memperoleh pengetahuan. Selain itu, menurut Costa (1985 dalam Costa ed., 1985: 125) dalam tulisannya yang berjudul Teacher Behaviors tha Enable Student Thinking pertanyaan merupakan alat intelektual yang dapat mempertahankan ketertarikan dan antusiasme siswa dalam belajar.
Berdasarkan penelitian Wright dan Bar, Sartorelli, Swartz dan Parks (Hassoubah, 2008: 96-108), terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, diantaranya:
a)
membaca dengan kritis;
b)
meningkatkan daya analisis;
c)
mengembangkan kemampuan observasi /mengamati;
d)
meningkatkan rasa ingin tahu, kemampuan bertanya dan refleksi
e)
metakognisi; mengamati model dalam berpikir kritis; dan
f)
melibatkan diri dalam diskusi yang “kaya”.
Melalui diskusi, siswa mendapat pengalaman dan latihan mengungkapkan pendapat secara lisan dan berkomunikasi dengan orang lain dalam menghadapai suatu masalah. Diskusi memungkinkan pengembangan penalaran, pemikiran kritis dan kreatif serta kemampuan memberikan pertimbangan dan penilaian (Munandar, 1999: 84).
Langholz dan Smaldino (Gelven & Stewart, 2001) menyatakan bahwa berpikir kritis tidak dapat dikembangkan dalam waktu yang singkat tetapi harus dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini senada dengan yang diungkapkan Nickerson, Perkins dan Smith (1985: 45), bahwa keterampilan berpikir merupakan keterampilan dasar yang perlu dikembangkan atau dilatih. Begitu pula dengan pendapat Beyer (1985 dalam Costa ed. 1985: 149) bahwa melatih berpikir kritis perlu dilakukan secara berulang-ulang sambil memberikan saran dan perbaikan pada hasil berpikir kritis siswa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Penilaian Norris dan
Ennis merupakan penilaian yang mengarah pada kemampuan berpikir
kritis yang difokuskan pada pengambilan keputusan tentang apa yang dilakukan
atau diyakini. Disamping mengembangkan
berpikir kritis yang berkaitan dengan domain kognitif, Norris dan Ennis juga
mengembangkan disposisi yang merupakan “jiwa kritis”.
Berpikir adalah menerima stimulus eksternal
melalui indera dan diproses secara internal. Berpikir juga bisa dikatakan suatu hal yang alamiah
(fitrah atau natural) bagi setiap manusia
dikarenakan adanya unsur-unsur ciptaan yang telah diciptakan oleh Allah SWT.
Dalam proses berpikir dilibatkan berbagai unsur, yakni otak yang sehat, panca indra, informasi sebelumnya, dan adanya fakta. Dari keempat unsur di atas dapat dirangkai sebuah definisi berpikir, yaitu pemindahan penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak yang disertai adanya informasi-informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut.
Salah satu keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) adalah berpikir kritis. Berpikir kritis menggunakan dasar proses berpikir untuk menganalisis argumen dan memunculkan pengetahuan terhadap setiap makna dan interpretasi, mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis, memahami asumsi dan bias, serta memberikan model penyampaian yang dapat dipercaya, ringkas, dan meyakinkan (Presseisen, 1985 dalam Costa ed., 1985: 45). Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa keyakinan atau asumsi berdasarkan bukti pendukung dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang ditimbulkannya (Fisher, 2009: 3). Selain itu, berpikir kritis merupakan suatu proses untuk mencari makna, bukan sekedar perolehan pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Arthur
L. Costa. 1988. Developing Mind.
Association for Supervision and Curriculum Development : USA
Brady, L. 1992. Curriculum
development. 4-th ed. New York: Prentice Hall.
Bryce,
T.G.K., McCall, J., MacGregor, J., Robertson, I.J., dan Weston, R.A.J. 1990. Techniques
for assessing process skills in practical science: Teacher’s guide.
Oxford: Heinemann Educational Books.
Kumano, Y.
(2001) The National Curriculum Standards Reform and Its Implementation.
Makalah diseminarkan di JICA Meeting tanggal 15 September 2001.
Yogyakarta: FMIPA UNY.
Puckett,
M. B & Black, J. K. (1994). Authentic Assessment of The Young Child.
New York: Macmillan College Publishing Company.
blog.elearning.unesa.ac.id/penalaran-berpikir-kritis-roberth-h.ennis.html (diakses tanggal
12-05-2012).
repository.upi.edu/operator/upload/s_kim_0706557_chapter1.pdf (diakses tanggal
12-05-2012).
uinsuska.academia.edu/Upaya_Meningkatkan_Kemampuan_Berpikir_Kritis.html (diakses tanggal 12-05-2012).
Langganan:
Postingan (Atom)